42 - Buku Baru

254 62 62
                                    

RENJANA BY SISKAKRML

Instagram : @siska_krml dan @hf.creations

****

Tresno Coffe, kedai kopi yang tak pernah absen aku kunjungi semasa SMA bersama teman-temanku, bukan karena kami pecinta kopi, hanya saja cowok-cowok dari SMA lain yang sering meramaikan pojokan Kedai dengan gitar dan suara merdunya menjadikan kedai kopi ini penuh magnet.  

Kini aku kembali datang setelah bertahun-tahun jejakku hilang di ambang pintu, bunyi lonceng di atas pintu mengalihkan tatapan Barista yang berdiri dibalik bar. 

"Selamat datang, Kak, silakan pilih tempat ternyaman."

Aku tersenyum menunduk pelan, mencari tempat kesukaanku. Sayangnya, tempat itu sudah diisi sepasang kekasih muda. Akhirnya aku duduk di pojok kedai, tempat yang dahulu sering menjadi pusat perhatianku dan teman-teman.

"Kenapa gak pilih di private room?" tanya Malvin, baru saja tiba.

"Gue lebih suka di sini."

Malvin mengangguk pelan, menarik kursi di hadapannya. Tak berselang lama, seorang pria datang, khas dengan celemek hitam bergambar cangkir kopi. 

"Silakan, Kak, ini menu kami," ucapnya menyerahkan selembar menu dan dua gelas teh tawar gratis yang tak pernah berubah sejak dulu.

"Saya americano sama melted cookies yang dark chocolate," pesan Malvin. 

"Kalo saya caramel latte, cookiesnya samain."

"Baik Kak, jadi pesanannya. Dua melted cookies dark chocolate, satu americano dan satu caramel latte."

"Iya," ucap kami bersamaan. 

"Baik, ditunggu ya, Kak."

Selepas pria itu pergi, aku menatap Malvin yang masih sibuk mengedarkan pandangan seolah merekam setiap jengkal ruangan.

"Gak banyak berubah," gumamnya mengomentari isi kedai kopi ini. 

Aku mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya. Malvin tersenyum tipis. 

"Dulu pas SMA gue sering nongkrong di sini, pas banget di pojok ruangan ini. Dulu kursinya masih kayu, bukan sofa kaya sekarang."

Aku menaikkan alis terkejut dengan ucapannya, apakah Malvin adalah bagian dari lelaki yang sering aku dan teman-temanku perhatikan? Tapi bagaimana bisa? Maksudku, bagaimana mungkin Dunia hanya sejauh ini? Sempit sekali. Diantara jutaan orang, di antara Tahun-Tahun yang berlalu, ternyata Malvin selalu jadi bagian yang tak kusadari.

"Hei," panggil Malvin seraya mengibaskan tangan. Aku menggeleng pelan.

"Sorry," ucapku meminta maaf karena melamun.

"Lo mikirin apa?"

Sepertinya memang harus kupastikan, bukankah anak SMA yang selalu memenuhi kedai kopi ini tidak sedikit dan tidak hanya aku dan gerombolan lelaki itu?

"Lo bisa main gitar?" tanyaku.

"Bisa. Kenapa?" tanya Malvin heran.

"Dulu, di kafe ini lo suka lihat anak-anak cewek SMA yang duduk di sana," ucapku menunjuk kursi yang ditata melingkar di tengah ruangan.

Malvin mengerutkan dahi. "Is that you?"

Aku mengangguk. "Setiap jam tiga sore," ucap kami bersamaan.

Malvin terkekeh pelan, sama herannya. "Terus kenapa lo dulu suka lihatin ke arah sini."

"Gak apa-apa, berisik aja," ucapku berbohong.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang