21 - Misel

315 67 66
                                    

Akhirnya aku kembali bekerja, dengan suasana yang tak seperti biasanya. Ragaku disini, pikiranku melayang jauh. Aku masih belum membuat keputusan, lebih tepatnya lagi Jio yang tak membawa pembicaraan pada kesimpulan yang jelas. 

Arin ikut berjalan di sampingku, berhenti di taman belakang. 

"Lo sama Jio baik-baik aja, kan?"

Aku tersenyum tipis. "Gue gak tau, Rin, belum ada kesimpulan."

"Ta, lo sama Jio bisa kok memperbaiki semua ini. Kalian bisa lebih baik untuk kedepannya, kalau fase ini bisa kalian lewati."

Aku menyeka air mataku. "Gue sayang sama Jio, tapi gue nggak bisa bohong kalau selama sama dia gue banyak sedihnya."

"Jangan ambil keputusan ketika lo kaya gini, ketika lo sama Jio masih dalam fase marahan. Biarin dulu kalian tanpa keputusan kaya gini, nanti ngobrol lagi dengan kepala dingin."

"Thank you, ya, Rin?"

Arin tersenyum, menepuk pundakku dua kali kemudian pamit kembali bekerja. Sementara itu aku melanjutkan langkah, menuju kantor. Mbak Karin tidak masuk hari ini, dia memberitahuku lewat pesan singkat. 

Langkahku sampai di ambang pintu kantor, berpapasan dengan Malvin yang keluar dari ruangannya. Tatapan kami bertemu, Malvin melangkah mendekat. 

"Lo baik-baik aja kan, Vin?" tanyaku. 

"Memang gue kenapa?"

Ah iya, Malvin mungkin tidak tau beberapa hari lalu perempuan itu mendatangiku dan memberi tahu keadaan Malvin. 

"Oh, ya udah kalo lo baik-baik aja. Gue mau mulai kerja," ucapku kemudian berniat menuju meja kerjaku namun Malvin menahan pergelangan tanganku. 

"Ta," panggilnya. 

"Kenapa?"

"Bukannya lo yang sakit? Lo udah sembuh?" tanya Malvin seraya berniat memegang keningku namun aku menahannya.

"Gue nggak apa-apa."

Aku melepas genggamannya pada pergelangan tanganku, meninggalkan Malvin yang menatapku heran. Mungkin karena hari ini aku tak banyak bicara.

"Lo udah putusin cowok lo?" tanya Malvin membuatku mendongak terkejut dengan pertanyannya. 

"Maksud lo apasih?"

"Apa salahnya? Memang apalagi yang harus gue tanyain selain itu?"

Aku menghampirinya, berdiri tepat di depannya. "Vin, lo bisa kan berhenti perjuangin gue?"

Malvin tersenyum miring sweraya mengatakan, "Gak bisa. Gue gak pernah jatuh cinta lagi semenjak orang-orang itu bikin perasaan gue mati. Lalu sekarang lo nyuruh gue berhenti? Gak bisa."

"Ya buat apa? Lo cuma akan nyakitin diri lo sendiri. Toh nggak ada yang bisa lo perjuangin."

"Kenapa lo bilang gitu?" tanyanya. 

Aku memijat pundaknya sedikit keras, membuatnya meringis seraya memegang bagian yang kupijit.

"Sakit, kan? Karena memar?"

Malvin terdiam. 

"Vin, lo nggak harus terluka buat jatuh cinta. Lo nggak harus bunuh diri lo sendiri untuk melindungi orang yang lo sayang."

"Bukannya itu yang gak menyenangkan dari jatuh cinta? Harus ada yang dikorbankan dan gue mau melakukannya. Jadi gue juga yang memutuskan kapan gue akan berhenti."

Setelah kalimat itu selesai, Malvin meninggalkanku sendirian. Melangkah menjauh tak sedikitpun menoleh bahkan ketika namanya kupanggil.

***

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang