3 - Pria Baik

392 75 0
                                    

RENJANA BY SISKAKRML

Instagram : @siska_krml dan @hf.creations

****

Aroma minyak angin membuat kerongkonganku menghangat, ditambah dengan selimut tebal yang membungkus tubuhku. Kubuka mataku perlahan, sinar lampu yang cukup terang membuatku harus mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya itu. Atap yang tak kukenal, juga aroma kamar yang khas seorang pria. Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kasur, segera aku melihat tubuhku dibalik selimut. Betapa terkejutnya aku melihat pakaianku telah diganti.

"Teman cewek gue yang gantiin, gak usah panik," ucap seorang pria di ambang pintu. Dengan gerakan cepat aku turun dan menjauh dari pria yang kini berjalan mendekat.

Ruangan ini tidak terlalu banyak barang, hanya satu kasur tidak terlalu besar, meja rias yang hanya diisi oleh laptop dan sisir, juga lemari yang penuh tempelan band-band klasik.

"Lo siapa?" tanyaku pada pria yang dengan santainya membawa nampan berisi mangkuk dan gelas ke atas meja rias. Ia memakai kaus abu-abu dipadu celana pendek hitam dan topi hitam. Lampu ruangan yang tidak terlalu terang membuatku kesulitan menatap wajahnya.

"Aturannya lo berterima kasih dulu sama gue," ucapnya seraya membuka topi dan menatapku.

Aku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat, betapa sempitnya kota ini hingga harus membawaku satu ruangan dengan pria yang Arin bilang kekasih seorang model terkenal yang sudah berumur. Pantas Arin kagum dengannya, kuakui pria ini tampan.

"Ngapain berdiri disitu?"

"Siapa yang ganti baju gue?" tanyaku memastikan kembali.

"Teman gue."

Aku masih tak percaya, terlebih mengetahui latar belakang pria ini yang digosipkan berhubungan dengan model terkenal itu. Meskipun aku tidak tahu hal apa yang membuat pria ini mau menerima seorang wanita yang terbilang jauh lebih dewasa dibanding dirinya.

"Kalau lo gak percaya, lihat baju yang lo pakai."

Aku menatap pakaian yang kugunakan, dari model dan warnanya memang jauh berbeda dengan yang digunakan pria di hadapanku. Namun hal itu tidak cukup membuatku percaya, siapa tahu pria itu memang sengaja meminjam pakaian wanita untuk menyangkal bahwa dia yang menggantikan pakaianku.

"Terserah lo mau percaya atau nggak, yang penting sekarang lo makan dan minum obat yang udah gue belikan, supaya keadaan lo membaik dan cepat pergi dari sini."

Dia kira aku akan sengaja berada di tempat ini lebih lama? Mungkin kalau aku adalah Arin, aku akan melakukannya.

Semangkuk sup hangat dan minuman jahe juga obat penurun demam kuhabiskan kurang dari tiga puluh menit, meski kepalaku masih terasa sakit namun aku tetap bergegas mengemasi barang-barangku.

"Siapa nama lo?"

"Grita."

"Pacar lo yang ninggalin lo di halte?"

Aku menoleh, menatap tak suka dengan pertanyaannya. "Apa itu jadi urusan lo?"

"Iya, karena hal itu bikin gue bertanggung jawab sebagai orang satu-satunya yang ada disana ketika lo minta tolong."

Aku mengabaikan ucapannya, mengambil tas dan sekantung pakaianku yang basah. "Bilang sama teman lo, pakainnya gue antar besok."

"Lo mau pergi sekarang?"

"Iya."

"Gue antar, tunggu di depan."

"Gak usah, makasih."

"Yakin?"

"Hm."

Dengan percaya diri aku berjalan keluar, tanpa sadar aku melupakan bahwa untuk sampai di rumah ini aku sedang tidak sadar, yang artinya aku tidak tahu kemana arah pulang. Akhirnya aku hanya diam diambang pintu, akan sangat memalukan jika aku kembali masuk dan meminta tolong pria itu. Aku menghambuskan napas kasar, tak ada pilihan lain selain mejatuhkan harga diriku. Tepat ketika aku berbalik badan berniat kembali masuk, aku terperanjat melihatnya telah berada tepat di belakangku.

"Makannya gue bilang tunggu ya tunggu, gue gak akan melakukan sesuatu tanpa alasan, termasuk nganterin lo."

Tanpa menjawab ucapannya, aku mengekor menuju garasi tepat di samping rumah ini. Ketika mobil berjalan, aku menoleh padanya. "Rumah gue di Jalan Armada, rumah Kos Pelita nomor tiga."

Dia mengangguk mengerti.

"Makasih udah nolongin gue."

"Makasih aja?"

"Ya terus gue harus apa?"

"Lo nggak minta maaf?"

"Maaf?"

"Pertama, di gang dekat Taman Penari, lo jalan tapi mata lo kemana-mana akhirnya bikin barang gue jatoh. Kedua, lo nabrak gue di minimarket sampai gue harus bantu lo beresin barang-barang lo yang jatuh, dan ketiga, hari ini lo udah ngerepotin gue lagi."

"Asal lo tahu ya, botol minuman yang lo bawa itu bikin jempol gue bengkak dan harus di kompres."

"Siapa suruh jalan matanya kemana-mana."

"Lo yang harusnya ngehindar dong."

"Ngehindar gimana? Gue kan gak tahu lo mau lewat."

Benar juga. Aku berdecak kesal, menuerah berdebat. "Ya udah, gue minta maaf."

Dia tersenyum penuh kemenangan, aku mengalihkan tatapan. Perjalanan hanya diisi dengan sunyi, kuperhatikan jalanan sepi yang hampir dini hari. Tiba-tiba sebuah mobil memotong perjalanan, pria disampingku menginjak rem sekuat yang ia bisa.

"Sial."

Dua orang pria turun dari mobil tersebut, ia menyilangkan tangannya di depan mobil.

"Tunggu dan jangan keluar!"

Aku mengangguk, siapa pula yang ingin keluar ketika melihat dua orang berbadan besar menyilangkan lengannya seolah hanya dengan menatap saja mampu memjadikanku potongan-potongan daging yang tak berguna. Aku bergidik membayangkannya. Dia berbicara pada kedua pria itu, kemudian entah apa yang mereka bicarakan namun mampu membuat mereka meninggalkan kami. Dia kembali pada mobil, melanjutkan perjalanan seolah tak terjadi apapun.

"Siapa?" tanyaku yang penasaran luar biasa.

Dia hanya menoleh sejenak, kemudian kembali pada kemudinya tanpa menjawab pertanyaanku. Jika bukan karena membutuhkan tumpangannya, aku mungkin sudah memukulnya menggunakan apapun yang bisa mematahkan lehernya. Ah iya, aku teringat pada kekasihnya. Mungkinkah dua pria itu adalah suruhan model itu untuk mengikuti kemana kekasihnya pergi dan dengan siapa dia di dalam mobil.

"Orang suruhannya Viona, ya?"

Dia menghentikan mobilnya sebelum benar-benar masuk ke halaman rumah kosku, membeku sejenak. Aku yakin aku telah salah bicara, mengingat Arin mengatakan bahwa hal ini masih berstatus gosip. Dia menatapku dengan tatapan yang lebih dingin dari sebelumnya. "Turun!"

"Sorry gue gak maksud—"

"Turun! Lo punya telinga, kan?"

Aku menuruti ucapannya, membuka pintu mobil dan membiarkan mobil itu mundur lalu meninggalkan tempat ini. Ah besok aku harus bertemu dengannya untuk meminta maaf, biar bagaimanapun dia telah membantuku cukup banyak malam ini. Entah apa jadinya jika pria tadi tidak membantuku, mungkin aku akan mati kedinginan.

Aku membuka ponselku, berharap Jio mengkhawatirkanku. Nihil, bahkan satu pesanpun tidak sama sekali kudapatkan. Hubungan ini seharusnya berakhir jauh sebelum hari ini, tetapi banyak hal yang memaksa tetap berjalan. Aku kembali ke rumah kosku, membaringkan tubuhku yang hampir sepenuhnya pulih untuk membiarkan hari ini berlalu. Sebelum tidur, aku mengirim pesan pada Arin agar membantuku untuk bicara pada kepala minimarket bahwa aku tidak dapat hadir dengan alasan yang sama dengan sore tadi. 

****

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang