28 - Yogjakarta

287 66 19
                                    

RENJANA BY SISKAKRML

Instagram : @siska_krml dan @hf.creations

****

Kukira setelah luka dan segala peliknya hidup yang pernah terukir di kota ini akan membuat Yogjakarta terlihat redup, ternyata tidak. Jogja selalu indah, selalu punya magnet, selalu dan selamanya istimewa. Senyum para pengayuh becak, penjual makanan, mahasiswa yang sibuk dengan tugas dan obrolannya tentang Negeri ini ataupun kisah kecil yang mengajarkan apa itu merasa, bisa kurasakan hanya dengan menatap keramaian di Nol Kilometer Malioboro.

Sayangnya aku tidak tumbuh disini, sejak kecil diboyong keluarga untuk tinggal di daerah Ibu kota, mengikuti jejak Papa untuk menjalankan bisnis dan perusahannya yang dulu terlihat sangat menjanjikan jika mendengar nama Ibu Kota.

"Jadi, kamu ini calon sarjana teknik sipil yang hidup di bidang fotografi?" tanya Papa pada Jio.

Jio yang sejak tadi sibuk menjawab pertanyaan Papa mengenai hidupnya kini terkekeh pelan. "Iya, Om, emang agak kurang nyambung."

"Loh justru itu multitalent, hebat."

"Om bisa aja," ucap Jio terkekeh.

"Papamu pemilik salah satu PH terkenal di Indonesia. Anaknya lulusan sipil, sukses di fotografer. Kenapa kamu masuk sipil? Kenapa gak jadi artis aja?"

Jio tersenyum kaku. "Dulu Papa saya kuliah Perencanaan Wilayah dan Kota, Om, terus karena Papa itu anak tunggal jadi dia nerusin perusahaan Kakek saya dan nganggurin ijazah PWKnya, akhirnya saya jadi tertarik motret. Papa dulu bilang kalau suatu hari nanti akan banyak pembangunan-pembangunan besar di Indonesia, jadi dia nyuruh saya masuk Teknik Sipil dan sama sekali gak mengekang hobi motret saya."

"Keren. Grita gak mau nerusin hobi kamu, Nak? Siapa tau kamu juga bisa sebesar Jio, dari hobi jadi profesi."

Aku tersenyum, menatap Jio yang duduk tepat di sampingku. "Iya, Pa."

"Grita itu dari kecil punya bakat design baju," ujar Papa.

"Sampai dia pernah potongin daster Tante buat dia jadiin baju boneka barbienya," sambung Mama.

Aku hanya terkekeh mendengarnya. Papa yang duduk dibalik kemudi juga tertawa mengingat hal itu.

"Yang ituloh, Ma, sehari sebelum lebaran."

"Oh iya, Sehari sebelum lebaran, semua orang rumah sibuk masing-masing. Om bersih-bersih plafon rumah, Kakaknya Grita bikin kue bareng Tante, kamu tau, Ji, Grita ngapain? Dia lagi guntingin baju lebarannya sampai jadi gaun selutut yang polos banget cuma ada pita besar di bagian perutnya."

Seisi mobil dipenuhi tawa, aku merasa hangat yang lama hilang dari ingatanku. Jio meraih jemariku, mengelusnya pelan.

"Itu umur berapa, Tante?" tanya Jio.

"SMP kelas dua, ya?"

"Iya, itu pas aku SMP. Habisnya Mama beliin aku baju lebaran kaya anak SD, ada rompinya gambar kupu-kupu warna-warni gitu, pokoknya rame banget mana kepanjangan."

"Tapi Om spechless waktu itu, bajunya jadi lebih simple dan bagus."

Jio tertawa pelan, mungkin merasa tak percaya bahwa Papa saat itu memang sangat kagum dengan hasil rombakanku, hanya saja Mama tak berhenti marah hingga hari lebaran tiba.

"Iya, dia Tante marahin tapi Papanya belain terus katanya bagus. Kamu lihat sendiri deh nanti fotonya."

Jio menatapku bangga, seolah dari tatapannya ia berkata bahwa ia ikut senang dengan kehangatan ini, kembalinya makna keluarga untukku. Aku menyandarkan kepalaku di pundaknya, bersamaan dengan Mama yang melihatku dari pantulan cermin tengah, melempar senyum padaku. Senyum yang lama hilang dari duniaku.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang