36 - Pemakaman

291 67 7
                                    

RENJANA BY SISKAKRML

Instagram : @siska_krml dan @hf.creations

****

Aku terlelap di bibir pantai, ombak-ombak kecil menyentuh ujung jemariku seolah membangunkan, aku membuka mata sedikit menyipit kala sinar senja menabrak bola mataku. Tak sedikitpun bicara, aku terus mengedarkan pandangan seraya mendudukkan tubuhku. Tak ada siapapun, aku kini memeluk lutut bertanya dalam hati, dimanakah aku sekarang. Debur pantai bersaut-sautan sesekali menabrak ujung jemari kaki.

Seseorang tiba-tiba duduk di sampingku, aku hanya menatapnya seolah tak terkejut. Pria itu memakai kemeja putih, senyumnya tak berhenti terlukis meski tatapannya jauh ke batas cakrawala di hadapannya sementara aku tak berhenti menatapnya, aku ingin bertanya siapa dia, namun bibirku tiba-tiba tidak bisa digerakkan.

"Apa yang paling kamu suka dari tempat ini?" Tanyanya seraya menoleh, barulah aku tahu siapa pria di sampingku itu.

Aku hanya diam, menatapnya.

"Langit? Ombak? Air? Kerang-kerang kecil di dekat kakimu?"

Aku menatap ujung kakiku, kerrang-kerang kecil menelusup ke dalam pasir.

"Atau seseorang di samping kamu?"

Aku menoleh, menatapnya berbarengan dengan luruhnya air mataku. Jio ada di sampingku sekarang, dia tidak kemana-mana, dia di sini.

"Jangan nangis," ucapnya seraya mengusap air mataku. "Bukannya kamu udah nemuin orang yang kamu cari? Orang yang selalu kamu tunggu kepulangannya?"

Aku tetap diam, air mataku terus luruh.

"Di sana," ucapnya menunjuk batas cakrawala, tempat matahari tenggelam.

"Rumahku di sana," ucapnya yang tak kumengerti. Sebab yang kulihat hanya lautan tenang seolah di dalamnya adalah pedalaman yang tak tersentuh.

"Jauh, ya? Jadi kamu jangan tunggu aku lagi."

Patah hati sebenarnya baru aku rasakan sekarang, tepat seusai kalimat itu terucap.

"Aku nggak akan pulang," lanjutnya.

Kemudian dia berdiri, melempar senyum. "Melanjutkan hidup tidak seberat membiarkan kamu sendiri, jadi tolong hiduplah lebih lama dan temukan seseorang yang akan menjadi milikmu selamanya."

"Aku gak akan pulang ke rumahmu, aku udah punya rumah. Sekarang, aku harus pulang ke rumahku," lanjutnya.

Pria itu berjalan mendekati ombak, menyusuri lautan yang semakin jauh semakin tubuhnya hilang, aku mengejarnya namun tiba-tiba air surut, aku terus mengejar air itu namun terus menjauh semakin surut. Pantai itu berubah menjadi padang pasir, tidak ada kerrang-kerang kecil, suara debur ombak, juga hangat senja yang mendadak hilang.

"JIOOO!!!"

***

Nafasku terengah-engah, keringat bercucuran. Berkali-kali aku menarik napas Panjang, menenangkan diriku sendiri. Papa masuk kamarku, membawakan teh hangat juga bubur ayam yang aromanya sampai di hidungku.

"Kamu mimpi buruk?" tanya Papa seraya mendekat.

"Grita kenapa di rumah, Pah?" tanyaku sebab seingatku tadi aku berada di butik.

"Kamu pingsan," ucapnya seraya menyuruhku minum. Aku meneguknya sedikit.

Papa mengusap pundakku pelan, ia menyimpan makanan yang ia bawa di nakas. "Ta," panggil Papa.

Aku menoleh, menatap senyum Papa yang begitu hangat, kerut di wajahnya semakin terlihat, dia menua.

"Kamu harus terima kalau siapapun bisa pergi dari hidup kamu dengan cara apapun," ujar Papa memulai percakapan.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang