44 - Dilema

264 61 88
                                    

Hari semakin siang, matahari tepat di atas kepala. Awan hitam sudah sampai di langit utara, sepertinya tak lama lagi  hujan akan mengguyur pemakaman. Aku menabur genggaman bunga terakhir, tersenyum menatap nisan bertuliskan Ale Jio Fernando.

"Ji, aku patah berkali-kali, sekarang udah mati."

Kukira satu Tahun setelah kehilangan mendiang Jio akan mengembalikan semua tawaku, namun ternyata aku salah. Aku mati perlahan-lahan, aku tak lagi tahu cara bahagia. Terlebih saat ini aku harus masuk dalam pernikahan yang dingin.

"Malvin baik, Ji, dia cuma beku. Mungkin aku yang salah, mungkin aku yang egois."

Langit menghitam, angin mulai berhembus. Aku tetap di samping peristirahatan Jio, bercerita mengenai pernikahanku, hidupku, semua yang berjalan kacau semenjak kepergiannya. Hingga akhirnya hujan turun dan aku tetap di tempatku, membiarkan tubuhku bsah diguyur hujan.

"Kalau aku cerai, apa semua akan berubah? Karena mungkin harus ada yg memutuskan pergi."

Hujan semakin deras, aku berjalan meninggalkan pemakaman. Menyusuri jalanan sepi, halte-halte ramai orang berteduh. Aku terus berjalan, meski cukup jauh aku tetap menggunakan kakiku berjalan karena aku tidak membawa uang sepeserpun. Orang-orang menatapku aneh, aku tak peduli dan terus berjalan di bawah hujan.

***

"SAYA TANYA SATU KALI LAGI, DI MANA GRITA?!"

"SUSAH UNTUK KALIAN JAGA SATU ORANG?"

Suara Malvin menggema di dalam ruangan, aku masih berdiri di balik pintu utama. Aku sangat merasa bersalah, kepergianku yang tapa izin ternyata menjadi masalah untuk seluruh pekerja di rumah.

"Maaf Den, tadi Uwa keluar beli Pepaya karena Non Grita sedang tidak enak perut."

"Tadi di pos juga saya sudah nahan Pak, tapi katanya mau susul Uwa ke depan karena dia juga mau membeli buah lain."

"Saya nggak tahu, Pak, tadi saya bersih-bersih kebun belakang."

Malvin melempar barang hingga terdengar suara pecahan. "KENAPA GAK ADA YANG KAWAL? MIKIRLAH KEADAAN DIA KAYA APA, DIA GAK BOLEH PERGI SENDIRI."

Mereka hanya diam tak ada suara sedikitpun.

"LIHAT DILUAR HUJAN, KALAU DIA SAMPAI KENAPA-KENAPA SIAPA YANG TANGGUNG JAWAB?"

Aku memutuskan untuk membuka pintu untuk mengumumkan kehadiranku, membuat tatapan mereka semua beralih padaku. 

"Non Grita," panggil Uwa lirih.

Malvin menatapku tajam.

"Semuanya keluar dari rumah saya, tinggalin saya dan Grita."

Mereka bergegas mengambil barang-barang mereka juga payung. Hingga beberapa menit kemudian ruangan kosong menyisakan aku dan Malvin.

"Udah larinya?"

Tubuhku bergetar, ketakutan. Aku ingat jelas bagaimana dia menamparku dulu, kini dia berjalan mendekat dan aku melangkah mundur. Malvin menatap ujung kakiku yang penuh tanah merah pemakaman.

"JAWAB!" gertaknya. "UDAH LARINYA? UDAH NANGISIN ORANG MATI? BERAPA LAMA LAGI GUE HARUS NUNGGU LO NGANGGAP GUE SEBAGAI SUAMI LO?"

Aku menghela napas panjang. "Dari dulu kita udah sepakat soal ini, kan? Kenapa lo iyakan kalau lo sendiri merasa ini gak adil? KENAPA? KENAPA LO BARU BEREAKSI KAYA GINI SETELAH GUE UDAH DI SINI?!"

"TERUS SAMPAI KAPAN? SAMPAI KAPAN LO AKAN BERSIKAP SEOLAH GUE INI GAK TERLIHAT? Gue udah cukup ya, Ta, selama ini ngalah sama lo, ngertiin lo. Tapi pernah gak lo coba untuk ngertiin gue?"

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang