Bel sekolah berbunyi nyaring pertanda sekolah telah usai. Seluruh siswa berlari keluar kelas dengan berbagai kepentingan. Entah itu pulang, lanjut berorganisasi, atau lanjut mejeng di mall. Entahlah. Yang jelas, setelah bel pulang, para siswa tidak lagi menjadi tanggung jawab sekolah.
Menyusur ke lantai dua, tepatnya kelas 12 IPS 2, dua orang gadis terlihat masih santai tanpa ada niat untuk pulang. Ralat, hanya satu orang saja yang terlihat santai. sedangkan yang satunya, malah terlihat gelisah sembari membangunkan temannya yang sedang menjelajahi mimpi.
"Nila! Danilla! Bangun! sampai kapan lo mau tidur?"
"Woy! elah ni anak, ayo pulang!"
"Tunggu bentar,kek mimpi gue lagi seru. Joker berhasil ngalahin kapten amerika"
"Mata lo dua! salah server, bego"
Mendengar umpatan penuh cinta dari teman-tersayang tapi tidak melebihi sayangku pada Moza, Aku akhirnya membuka mataku malas.
"Katanya hari ini lo mau nemenin gue ke mall, gimana sih masa gak jadi?" teman-tersayangku a.k.a. Nava berkata kesal sambil menarik tanganku yang dari tadi menganggur.
Menghela napas malas, akhirnya kubereskan bukuku lalu berdiri dengan malas juga. "Kuy"
Kami berdua berjalan menuruni tangga. Beberapa siswa menatap kami dan berbisik. Atensi mereka semua teralih pada si bintang SMA Pertiwi. Siapa lagi kalau bukan diriku?
Siapa yang tidak mengenal Danilla Asteria? Perwakilan sekolah setiap ada olimpiade dan perlombaan. Memiliki nilai bagus, wajah bak dewi yunani. Singkat kata, aku sempurna. Setidaknya itu kata orang-orang.
Hampir genap tiga tahun aku bersekolah. Masuk dan pulang seperti biasa. Namun, segala tindakanku selalu menjadi hot topic. Tak bisa kupungkiri terkadang aku berharap jika aku tidak terkenal saja. Tidak perlu memikirkan banyak hal. Itulah cita-citaku. Bukan tanpa sebab, bukankah banyak orang mengatakan semakin terkenal kau semakin banyak pula rintangan?
"Hari ini lo yang nyetir, ya? Gue ngantuk mau tidur" Aku melempar kunci mobilku pada Nava.
Wajah Nava yang semula mulai sumringah menjadi kesal kembali. "Lo lupa, ya? Sim gue kan ditahan sama bokap!"
"Yaelah, Gak ada polisi kali. Masa ngantuk gini gue paksain nyetir,sih. Kalo tabrakan terus kita mati gimana?"
"Heh, mulut! Lo kalo mau mati sendiri aja, kali. Sok ajak-ajak gue segala. Yaudah mana sini. Tapi kalo ada apa-apa lo yang tanggung jawab!"
Aku mengangguk puas."Nah,gitu kek daritadi"
"Terpaksa gue daripada kita berdua meninggoy bagus gue yang nyetir."
Nava menyalakan BMW X1 super hati-hati. Yaiyalah. Mobil ini harganya gak main-main, sayang. Padahal Nava sudah sering nyupirin aku berhubung aku sendiri selalu malas.
Mobil berjalan menuju gerbang sekolah. Nava menyapa pak Zulham, satpam sekolah sedangkan Aku hanya tersenyum singkat kemudian kembali menguap menurunkan kursi berniat tidur.
***
Aku keluar dari mobilku. Kemudian melirik jam. Pukul 8 tepat . Terhitung hampir enam jam aku menemani Nava belanja. Jangan tanyakan betapa lelahnya diriku. Sungguh, pemalas sepertiku tidak akan pernah mengerti mengapa Nava bisa betah berjalan-jalan di sebuah toko hanya untuk membeli sebuah dress!
Aku memasuki mansion. Sebelah tanganku menenteng tas. Sedangkan yang satunya menenteng belanjaanku, kebanyakan isinya adalah cemilan.
"Wow. Lo pulang?"
Atensiku beralih pada remaja laki-laki yang sedang asik tiduran di sofa. "Kagak. Gue lagi sibuk ngurusin saham kita. Gak abis-abis" ujarku.
Remaja itu beralih duduk. "Sombong amat. Aduh enak jadi orang kaya... Btw lo beli apa? Bagi dong"
Aku mengangkat sebelah alisku. "Lo adek gue btw, jadi kita sama-sama kaya. Terus ini jajan punya gue. Lo mau? Beli."
Aletris, adik laki-lakiku memutar matanya kesal. "Capek punya kakak pelit."
"Capek punya adik miskin" balasku tak mau kalah.
Merasa tak ada lagi yang perlu di bicarakan, Aku menaiki tangga menuju kamarku.
Kamarku terletak di lantai dua dengan fasilitas balkon, kamar mandi dan walk in closet. Jika kalian berpikir bahwa aku yang sempurna tentu memiliki kamar yang sempurna juga. Terimakasih kalian salah. Kamarku benar-benar tak berbentuk. Bukan karena sampah. Tapi barang-barang yang berserakan. Tidak diletak pada tempatnya. Mungkin bagi orang lain terlihat berantakan, namun barang-barang itu sudah diletakkan sedemikian rupa olehku agar aku tak perlu susah mencari ketika sedang butuh. Alasan yang simpel. Tapi mampu membuat orang lain menggelengkan kepala sambil menatapku dengan pandangan kesal. Bahkan Nava yang pernah memasuki kamarku menyerah. Trauma masuk ke kamarku.
Aku menatap langit-langit kamarku Bosan. Segalanya membosankan. Tak ada sedikitpun kejadian menarik hari ini disekolah ataupun di kehidupannya. Aku sudah selesai mengerjakan semua tugasku, sudah selesai mengerjakan karya tulis ilmiah yang akan ku upload di web.
Terkadang hidup terlalu mulus juga sangat membosankan. Menjadi anak baik juga sama membosankannya.
***
Suara ringtone ponsel berbunyi pertanda panggilan masuk. Aku yang semula tertidur tersentak bangun.
Awalnya aku mendiamkan. Namun lama kelamaan ringtone tersebut terus berbunyi. Seolah tidak senang melihatku tertidur. Akhirnya dengan kesal kuraih ponsel.
Nama Nava terpampang nyata di layar membuat amarahku kian memuncak. "Bajingan."
"Nil. Gue ada berita penting. Lo ada waktu kaga? Penting nih!"
Aku terdiam. Memijit kepalaku."Ada. Ada otak lo ngehubungi gue jam segini?"
"Nil. Sumpah ini penting banget. Lo harus tau!"
Aku berujar kesal."Gue harap itu penting banget sampe lo harus hubungi gue jam 3 malem."
Hening. Nava terdiam sejenak terlihat ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
"Dia.. ngehubungi gue tadi, Nil. Gue.. takut."
Aku terdiam masih mencoba memahami kata-kata rancu yang diucapkan Nava ditengah kantuk yang menyerang.
"Siapa?"
Bibir Nava bergetar. Napasnya memburu. "Gue panik, tangan gue gemeter. Gue.. gue gak tau harus mulai cerita darimana"
Lama Nava terdiam sambil berusaha menormalkan napasnya dan Aku terus menunggu dengan sabar. Agaknya pembicaraan kali ini bukan sekedar pembicaraan tidak bermutu yang selalu Nava keluarkan dari mulutnya.
Setelah beberapa saat, Nava membuka mulutnya kembali. Napasnya terlihat lebih teratur. Ia mulai bercerita.
"Waktu lo anter gue pulang tadi. Gue langsung ke kamar buat ngecas hp gue. Waktu gue aktifin, ada panggilan tak terjawab masuk. Gue gak kenal. Gak ada namanya"
"Gue penasaran, gak lama nomor itu hubungin gue lagi. Gue angkat."
"Gue kenal suaranya, gue takut. Dia bilang dia minta maaf, dia bilang dia gak bermaksud, dia bilang dia sangat menyesal. Badan gue kaku. Gue gak tau entah sejak kapan tangan gue matiin panggilan dia."
"Siapa?" Sekali lagi, Aku kembali bertanya. Meskipun agaknya aku sudah dapat menebak siapa orang yang dimaksud oleh Nava.
Nava gelisah kembali. Suaranya bergetar. Seolah membuka kembali luka lama.
"Dita"
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...