Nava memandangku gugup. Ia telah berada di ruang tamu mansionku, Papa lebih tepatnya sejak siang tadi. Aku hanya mengacuhkan Nava, sebaliknya menatap Arum yang sibuk membereskan berbagai barang bawaanku nanti.
"Nava... Mau makan nggak? Steak mungkin atau nasi padang?"
Nava tersenyum kikuk. "Ng..nggak usah, Om."
"Oh, atau mau es krim? Mungkin teh? Atau kopi? Spesial diracik Adrian Rahardi. Mau nggak? Mau nggak?"
Inilah masalahnya. Sejak tadi siang Papa tak henti-hentinya menawarkan banyak hal pada Nava, membuat Nava canggung setengah mati. Dimulai dari dress, makanan, pakaian formal, bahkan sampai piyama! Tentunya untuk dibawa ke pertemuan hari ini. Padahal, Nava telah membawa barang bawaan.
"Teh boleh deh, Om." Nava berujar sedikit tertarik.
"Nggak sekalian makannya? Aduh! Kamu harus banyak makan! Lagi masa pertumbuhan!" Adrian mengeluh.
"Pa. Setengah jam yang lalu, dia baru aja makan bakso komplit yang Papa tawarkan. Sekarang Papa suruh dia makan lagi? Tolong ingat kalau manusia nggak punya lambung karet." Ujarku yang ikut risih melihat Papa terus menawarkan fasilitas.
Papa berdecik. "Lihat dia, Nava! Tidak asik!"
"Daripada Papa merusuh, bukankah Papa lebih baik mengerjakan dokumen-dokumen Papa ?"
Papa menghentakkan kakinya kesal. Aku yakin ia kesal karena aku mengingatkan pekerjaan yang ia tunda hari ini.
"Aster! Kamu nggak asik!" Papa beranjak sambil menghentakkan kakinya.
Aku hanya mengendikkan bahuku acuh dan berkata pada Nava. "Jangan diladeni. Dia suka cari perhatian."
"ASTER! PAPA DENGAR!"
Nava memandangku dan arah Papa pergi bergantian. Ekspresinya terlihat syok. Bagaimana tidak? Sejak awal datang, dia disambut dengan confetti dan ucapan selamat datang Papa, belum lagi terkejut melihat Aletris yang dulu menenangkan traumanya saat di perpisahan sekolah, lalu menghadapi Kamelia yang ceriwis. Untung Nava yang mengalami ini semua, jika aku ada di posisi Nava sungguh, aku lebih memilih membatalkan misi dan pulang.
"Keluarga lo.."
"Sedikit gila? Tau kok" aku berujar mantap.
Nava menghela napasnya pasrah.
"Sekutu gue bukan cuma lo."
"Hah?" Nava memandangku heran.
"Ada satu orang lagi." Ujarku.
"Siapa?" Nava mengernyit penasaran.
Arum yang sejak tadi ikut mendengarkan tertarik. "Nona! Saya diajak juga, kan? Saya kan sangat berbakat! Tapi, saya penasaran juga, siapa yang nona bawa?"
Aku memandang Arum yang penuh harap datar. Tentu saja, membawa Arum kelihatannya menjanjikan. Terlebih, dia sangat loyal padaku.
"Nggak."
Arum memandangku kecewa.
"Arum, semakin banyak kartu As yang kubawa, yang lain akan semakin mencurigaiku. Saat ini saja, mereka curiga karena aku datang ke perjamuan setelah sekian lama." Jelasku.
"Baik, Nona." Arum akhirnya mengerti meski dibalik kepatuhannya terselip rasa kecewa.
Ting!
Suara ponselku berhasil memecah fokus. Kubaca pesan yang ternyata berasal dari 'mitra' ku. Perlahan aku tersenyum."Arum, Mitraku sudah tiba. Pandu dia kesini." Perintahku.
"Siap, Nona." Arum segera bergerak untuk memandu mitra ku. Ini merupakan kali pertama kami bertemu secara langsung. Sebelumnya, aku hanya memberi instruksi melalui ponsel ataupun email tentang apa yang harus ia kerjakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...