"Lo sakit apa, Nav?"
"Gue pusing. Demam. Kan udah gue bilang"Nava menjawab acuh tak acuh. Seraya menyendok kembali kuah seblaknya.
Aku diam sejenak. Menatap Nava intens.
"Demam harusnya minum paracetamol. Bukan melatonin"
Gerakan tangan Nava yang semula aktif kini terdiam. Tubuh Nava membeku. Ia tidak berani menatapku. "Gue... Insomnia belakangan ini. Ya lo tau sendiri, kan kita udah mau ujian. bentar lagi juga ujian masuk universitas. Gue mau masuk ptn idaman gue. Jadi gue belajar tekun belakangan ini. Gue jadi susah tidur karena jam tidur gue yang berubah. Bukan apa-apa"
Aku beranjak mengambil botol obat di nakas. Botol tersebut ringan menandakan bahwa Nava sudah lama mengonsumsi obat tersebut. "Udah berapa lama lo minum obat ini?"
Tangan Nava terjulur, meraih botol obat di tanganku. "Sebulan, kurang lebih. Gue gainget tanggal pastinya." lanjut Nava pelan.
Aku menatap Nava sejenak sebelum beralih menatap obat tidur yang ada di tangan gadis itu. "Jangan keseringan minum obat,Nav. Gabaik" lanjutku.
Nava hanya mengangguk. "Iya, Gue tau"
Aku menyendok kembali kuah seblak di mangkukku. sebelah tanganku kini aktif menscrolling instagramnya sehingga beberapa kali kuah seblak terciprat menodai seragamku. Nava yang melihatnya hanya mencibir. 'betapa multitaskingnya si bodoh ini'
Melihat noda di seragamku mau tak mau membuat Nava geregetan sendiri. Nava yang notabenenya adalah seorang pencinta kebersihan gatal ingin membersihkan meja dan
seragam teman bodohnya a.k.a diriku. "Nil! Bisa ga kalo makan ga sambil liat hp?! Berantakan tau!"Aku melihat seragamku yang sudah kotor karena kuah seblak lalu lanjut menatap Nava dengan wajah tidak berdosa. "Oh, Gue gak nyadar. Bagi tisu dong"
Nava berdiri ogah-ogahan mengambil tisu lalu melemparkannya padaku dengan tidak ikhlas. "Tuh"
Aku menangkap tisu dengan akurat lalu lanjut membersihkan seragam dan meja yang terkena tumpahan seblakku. "Ngasih kok ga ikhlas? Ikhlas lah wahai manusia. Allah S.w.t. berfirman dalam surah Al-Insan ayat 8-12. Gue lupa artinya tolong search di gugel" Ocehku.
Nava menjitak kepalaku. "Gue kristen, goblok"
"Ck, Sayangnya tuhan memang satu kita yang tak sama. Padahal gue udah semangat mau ceramah tadi." Mendengarku, Nava hanya merotasikan bola matanya malas.
Aku mengumpulkan seluruh tisu yang kotor, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Nav. Lo tau ga? Kalo di agama gue berbohong itu dosa kecuali bohong untuk kebaikan. Agama lo juga ngajarin bohong dosa. Nah, berarti lo kalo mati masuk neraka."
Nava menggelengkan kepala acuh. Sudah terbiasa menghadapi seluruh tingkah anehku yang selalu out of the box. "Apasih? Gaje lo."
Aku mengendikkan bahuku acuh lalu kembali menyantap seblak di mangkukku. "Ya, Gue kan ngingetin. Bertobatlah manusia. Kali aja lo belum sempet tobat. Eh mati. kan galucu." ujarnya datar.
Kali ini Nava menatapku ngeri. "Lo tumben-tumbenan ngingetin gue. Biasanya juga kita jadi setan bareng-bareng. Sakit lo,ya? tetangga gue, Pak Min tiba-tiba baik banget ke mama gue minggu lalu, pake acara ngundang tetanga makan-makan segala lagi, eh besoknya meninggal. Jangan-jangan...." Nava menutup mulutnya guna menambah efek dramatis seperti di sinetron yang selalu ditonton Ibunya setiap malam.
Aku sontak melempar bungkusan tisu ke wajah Nava. "Lo doain gue mati?"
"Tanda-tandanya mirip soalnya." Nava berujar dengan wajah tanpa dosa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...