"Sebenarnya, seusai pertandingan, Papa tidak hanya meneleponmu, Aletris. Dia juga meneleponku sehari setelahnya. Hari itu, aku beri tahu tidak hanya mengenai kekalahanmu, melainkan asumsi ku. Kamu benar, asumsiku tidak perlu dipercaya. Tapi aku punya firasat buruk." Aku menjelaskan.
"Papa lalu berkata pada kakak kalian, seorang anak berumur 13 tahun tidak mungkin membentuk otot ataupun kemampuan selama dua bulan berlatih." Papa melanjutkan.
"Bisa saja, kan jika seandainya dia berlatih mati-matian? Jika dia benar-benar perenang yang berbakat?" Aletris menjawab, membesarkan volume laptop hingga yang terbesar. Kini, suara Adrian sangat jelas terdengar di telinga mereka.
"Seandainya ia berlatih mati-matian sekalipun, apa dia sanggup mengalahkanmu perenang profesional dalam performa terbaik saat itu? Jawabannya ya, mungkin. Tapi kembali lagi, seperti yang dikatakan Aster, asumsi hanya sekedar asumsi. Tak ada bukti sama sekali." Papa menggeleng. Kini mendekatkan wajahnya pada layar.
"Aletris, ketika aku melihat gerak-gerik Dio pada hari itu, perasaanku tidak baik." Kini aku berbicara. " Detak jantung tak beraturan, keringat menetes dimana-mana, hiperaktif, karena itu aku berani menyimpulkan asumsi itu meski kemungkinannya kecil."
"Itu tanda penggunaan narkotika, dalam hal ini doping. Kau tidak akan terlihat lelah sekalipun telah berenang, melompat-lompat, atau jungkir balik sekalipun. Aftereffect."
Aku memandang serius kedua adikku."Ah." Aletris terlihat menyadari sesuatu. "Dia meminta waktu lima menit untuk ke kamar mandi sebelum kami masuk ke dalam kolam."
"Ngomong-ngomong, kembali ke dua bulan pelatihan yang ia jalani, sekalipun ia berlatih intensif, aku mendengar beberapa informasi bahwa dia bahkan tidak dilatih oleh profesional."Aletris menambahkan. "Para seniornya di klub renang yang melatihnya." Lanjutnya lagi.
Aku manggut-manggut. "Kemungkinan, dia mendapatkannya dari para seniornya. Aku yakin dia sebenarnya berbakat. Hanya, berlatih seperti profesional dalam waktu singkat tanpa profesional terlihat agak mustahil. Aku realistis." Ujarku lagi.
"Ngomong-ngomong, Aku punya pengumuman." Aku menyilangkan kakiku dan meminum limun dingin.
Kini, Papa, Aletris, dan Kamelia menatapku lamat.
"Kelihatannya, ada beberapa murid yang menggunakan narkotika juga disekolahku."
Hening, ketiganya masih memproses informasi.
"HAH?!"
"Selepas pulang sekolah tadi, seluruh siswa diperintahkan melakukan tes urine."
Papa mengernyit kelihatan memikirkan sesuatu.
"Aster, sekolah lain juga disuruh melakukan tes urine?" Tanya Papa.
"Tidak tau, pa. Kenapa tidak bertanya pada wartawan yang papa kenal?" Aku menghela napas lelah.
"Papa, kami disini mau cari info sama papa!" Mila mengingatkan.
"Oke, oke.. kalau kalian seingin tahu itu, nanti papa carikan informasi lagi." Papa membuat keputusan.
Aletris dan Mila bersorak senang, sedangkan aku tersenyum puas.
"TUAN ADRIAN! ANDA YANG TERBAIK!"
***
Aku terbangun pada tengah malam dengan tenggorokan yang terbakar dan menoleh ke nakas di sebelah tempat tidurku. Nihil. Tidak ada air di cangkir. Aku menghela napas, Dengan hati gusar, kugerakkan tubuhku untuk bangun.
Aneh, sejenak aku merasa dunia berputar. Aku merasa pusing.
Merasa tidak sanggup berjalan menuju interkom, kuraih ponsel di nakas dan menekan nomor Arum, pelayan yang bertanggung jawab melayani diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...