Danilla, Dita, Nava (3)

51 4 0
                                    

Setelah tiga bulan menjadi siswi kelas 9, akhirnya tiba juga seleksi olimpiade IPA. Dari seleksi tersebut, akan dipilih 5 orang murid terbaik untuk mewakili sekolah mereka dalam memperebutkan medali.

Bagiku sendiri, Ini adalah kali pertama mengikuti olimpiade tersebut mengingat pada kelas tujuh aku terlalu malas untuk sekedar ikut seleksi. Sedangkan bagi Nava, ini adalah kali ketiga dan mungkin kesempatan terakhirnya untuk mengikuti olimpiade tersebut mengingat saat ini kami sudah kelas 9.

" Seleksinya gimana, Nav? " tanya Dita membuka catatan IPA-nya. Dita juga ikut dalam seleksi olimpiade IPA tahun ini.

"Kalo tahun lalu, sih. Soal-soal UN. Yang berhasil dapat nilai 80 keatas itu yang lolos. Terus sesi keduanya jawab cepat kayak cerdas cermat gitu. Pokoknya bakalan diseleksi terus sampai tinggal 5 orang. Gatau deh tahun ini gimana." Nava menjawab. Ia memang selalu masuk dalam jajaran murid terpilih dalam Olimpiade IPA nasional setiap tahun, bahkan tahun lalu, sekolah mereka berhasil menyabet medali perak.

"Pokoknya kalian baca-baca aja soal referensi tahun lalu. Dulu gue saking semangatnya tuh rumus bisa masuk ke mimpi gue"

Dita mengangguk kemudian kembali membaca catatan IPA-nya.

Berbanding terbalik dengan Nava dan Dita, Aku sibuk men-scrolling instagramku. Melihat-lihat fashion week terbaru minggu ini.

"Desain Ma*k J*c*bs tahun ini bagus. Beli ga ya? Ah, tapi baju gue kan udah banyak. Gimana kalau gue nanti miskin? Oh. Minta papa aja deh. Kemarin papa baru menang tender besar." Aku bergumam dalam hati dan men-screenshot dress hitam tersebut lalu mengirimkan gambarnya pada Papa.

"Nil lo kayaknya santuy banget. Gak niat olimpiade lo?" Nava mencibir.

"Ck. Terpilih atau nggaknya gue kita serahkan aja pada takdir. Terpilih bagus gak terpilih yaudah. Lumayan gue bisa tidur gak perlu capek-capek latihan soal setiap pulang sekolah. " Aku mengendikkan bahuku tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

Nava menggeleng. Sejujurnya, ia tak begitu mengkhawatirkanku. Ia yakin meski Aku tidak belajar sekalipun, Aku pasti akan lolos seleksi tersebut. Nava tidak bodoh, meski tidak sejeli aku dalam mengobservasi, ia sudah tau level kemampuanku yang bahkan jauh diatasnya.

"Gue berharap kita bertiga lolos, guys. Lebih enak kompetisi sama orang yang dikenal. Lebih solid timnya." Ujar Nava.

"Makanya doain gue dong, Nav!" Ujar Dita. Saat ini, ia sudah mulai memanggil Nava tanpa embel-embel senior.

"Eh, denger ya! Walaupun tuhan memang satu kita yang tak sama. Gue selalu doain biar kita bareng di Olimpiade tahun ini. Karena ya, lo tau kan tahun ini tahun terakhir Gue dan Nila ikut" jawab Nava bangga.

"Aduduh Nava...Terharu loh gue. Padahal baru kemarin tante Rosa cerita sama gue lo susah banget dibangunin kalau mau ibadah minggu. " Sindirku.

"Aduh, biasalah Ibu gue mah gitu. Sering jelek-jelekin anaknya sendiri. Jan percaya, ya ges!" Nava menjawab dengan wajah tanpa dosa-nya.

"Loh, lo udah ke rumah Nava, Nil? Kapan? Gak ajak gue" Dita cemberut. Sepertinya Ia cemburu dengan kedekatan aku dan Nava.

"Minggu lalu. Ada kerja kelompok. Lo juga waktu mau gue ajak eh, langsung pulang. "

"Oh, Ayah gue suruh gue pulang cepat." Jawab Dita.

"Loh, Om Rizal udah pulang dari perjalanan bisnis? Kapan?" Tanyaku.

Dita tersentak. Namun segera berlaku normal. "Minggu lalu" Dita mengalihkan pandangannya. Dia salah bicara. Sebenarnya ayahnya sudah pulang sejak awal semester tahun ini namun, Dita memutarbalikkan fakta, takut teman-temannya, terutama Danilla curiga alasannya pulang tepat waktu.

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang