Downfall

50 3 0
                                    

"Danilla!" Tante Rosa berseru menghampiriku. Terlihat wajahnya sembab karena air mata. Selain itu, penampilannya yang biasanya rapi kini tak terlihat digantikan rambut kusut dan kemeja yang tidak rapi.

"Bagaimana kejadiannya, Tante?"

"Buruk sekali! Nava ada di ruang interogasi. Tante sedang menghubungi beberapa kenalan tante, meminta jasa pengacara."

"Ayahnya Nava sudah tau, Tante?" Tanyaku.

Tante Rosa menggeleng. "Belum tau. Tante nggak mau ayah Nava jadi banyak pikiran saat bekerja." Memang, ayah Nava bekerja diluar negeri dan hanya pulang setiap 6 bulan sekali.

Aku mengernyit. Tak menyangka situasinya semakin runyam.

"Tante, Ketika tes urine dilakukan apakah Nava bercerita siapa saja yang berada satu ruangan dengannya?" Aku kembali bertanya.

Tante Rosa menggeleng."Tidak, nak. Nava hanya bilang pada tante kalau dia melakukan tes urine di sekolah. Tidak lebih."

"Guru-guru bagaimana? Seharusnya mereka juga ikut memberi kesaksian, bukan?"

Tante Rosa kembali menggeleng. "Tidak, mereka tidak bersedia. Sebanyak apapun tante memohon pada mereka." Ia menyeka kembali air matanya.

Aku kini menyadari. Nava telah dibuang. Para guru tak mau mengenal murid mereka yang tertuduh memakai narkotika. Akan memperburuk citra sekolah.

"Permisi!" Aku berteriak pada polisi yang berjaga. "Saya bersedia dimintai keterangan, menjadi saksi Navia Jeselyn Candika."

Polisi itu menatapku dari atas kebawah dengan pandangan mengintimidasi. "Kesaksianmu tidak sah. Kamu dibawah umur." Ujarnya acuh.

Aku mengernyit bingung.

"Apa-apaan?! Bukankah kalian yang meminta kesaksian sejak tadi? Terserah mau siapapun?" Tante Rosa membentak polisi tersebut.

Aku menghela napas. Saat ini, jika kami terbawa emosi keadaan akan berbalik tidak menguntungkan. "Saya bisa didampingi pengacara." Ujarku tegas.

Polisi itu kembali menatap remeh diriku. Aku mengacuhkan tatapan remeh itu dan menelepon kontak lain, Papa.

"Halo, Ah Aster. Dasar gadis nakal! Kamu lari dari rumah? Dimana kamu? Kamu belum sehat!" Panggilan itu diangkat dengan suara emosi Papa.

"Pa. Ini bukan waktunya. Aku dikantor polisi. Anggap saja aku terlibat kasus narkotika kemarin. Aku butuh pengacara." Aku segera memotong omelan Papa.

"Siapa yang positif ? Kamu?" Papa menghentikan omelannya kini terlihat serius.

"Not me, but Nava. Mereka nggak mau dengar kesaksianku. Dan nggak ada orang sama sekali yang mau datang memberi kesaksian pada Nava." Ujarku.

Papa terlihat menghela napas. "Tunggu sebentar. Kamu pergi dengan siapa, Arum?"

"Iya. By the way, mereka meremehkanku. Dan aku tidak menyukai polisi ini." Aku mengeluh terang-terangan yang dibalas tatapan tajam dari si polisi wanita.

"Oke. Lima menit. Dalam lima menit, mereka akan menjilat kakimu dan Nava, Aster. Tunggu." Papa menutup panggilan.

"Tante, bagaimana jika kita meminta tes ulang?" Kumasukkan ponselku ke kantung dan menoleh kembali pada tante Rosa.

"Tes urine ulang maksud kamu?"

Aku mengangguk. "Ya. Tante, jika seandainya Nava dijebak? Tesnya ditukar dengan milik orang lain? Atau bahkan yang lebih buruk ada yang memalsukan hasil tes Nava. Segala kemungkinan bisa terjadi, tante."

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang