"Lo tau, kan geografi ujian terakhir?" Nava membuka catatan geografinya menilik kembali pemahamannya untuk ujian nanti.
Aku menguap lalu menelungkupkan kepalaku di meja. "Jadi?"
Pluk. Nava melempar catatannya ke wajahku. "Jadi belajar, goblok!"
Aku menatap catatan ringkas Nava tanpa minat sebelum melemparnya ke sembarang arah. "Males."
"Bangsat! catatan gue!" Nava mengejar catatannya yang berhamburan tak tentu arah.
"Lo kenapa sih, gak suka banget sama geografi?" Nava menatapku bersungut.
"Nggak suka aja. Gaada gunanya baca peta, gaada gunanya juga ngegambar peta. Kan ada internet." Ucapku malas.
Nava memutar bola matanya jengah. "Gak berguna, tapi nilai lo selalu bagus."
"Gue kan cuma bilang nggak suka, bukan berarti nilai gue harus jelek, kan? "
Nava menatapku lalu menggelengkan kepalanya lelah. Ia telah mengenalku. Aku paling tidak menyukai geografi.
"Sayang, di jurusan kita Geografi benar-benar dipelajari mendalam dan jadi syarat kelulusan dalam ujian akhir. Gue capek harus formalitas ujian geografi. Gue harap, gue nggak perlu baca peta seumur hidup."
"Jadi pelajaran apa yang paling lo sukai?" Nava bertanya sambil membaca catatannya kembali.
"Sosiologi." Ujarku singkat.
"Oh?" Nava menarik minat pada ucapanku barusan. "Lo ada minat mau jadi sosiolog atau gimana nih? Atau lo mau ambil jurusan Sosiologi kuliah nanti?" Tanyanya penasaran.
"Gue kan cuma bilang gue suka Sosiologi, kenapa gue harus jadi Sosiolog?" Aku bertanya balik pada Nava.
"Heh? Biasanya kan begitu. Orang-orang banyak yang jadiin kesukaan jadi pekerjaan." Nava mengangkat alis bingung.
"Gue cuma suka, bukan berarti gue mau berkaitan sama pekerjaan itu, kan? Apa yang gue suka dan mau gue lakuin kan beda." Ujarku.
"Oke, baik... Gue nggak ngerti. Jadi intinya lo mau jadi apa nanti?" Nava bertanya.
Aku berpikir lalu menatap Nava, kemudian menatap balik kertas yang berhamburan di sekitar kami.
"Rahasia." Ujarku sambil tersenyum miring.
***
"Mid semester ini akhirnya selesai juga." Nava merebahkan diri ke bangku kantin lesu.
Aku mengangguk sebelum melihat kembali web berisi penjualan tas yang kuinginkan.
"Terus soal Dita, gimana?" Nava bertanya padaku.
"I dunno." Aku menggelengkan kepalaku. "But, I have a bad feeling."
"Maksud lo?" Nava kembali bertanya.
"Soal Remi, nggak mungkin dia nggak terlibat. Aku belum punya bukti. Tapi perasaanku buruk." Ujarku.
Nava bergidik. "Mari kita berharap feeling lo salah dan dia masih bersenang-senang di selnya sembari menunggu waktu hukumannya habis." Nava kembali bergidik. Bukan apa-apa, Nava terkadang sedikit takut dengan keakuratan perasaanku.
"Lo kalau bisa nggak usah punya feeling aneh-aneh deh. Ucapan lo selalu kejadian soalnya." Nava menatapku skeptis.
Aku mengangkat bahuku acuh. "Kebetulan aja." Ujarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...