Danilla, Dita, Nava (5)

54 4 0
                                    

"Pa. " Aku memanggil papa yang sedang asyik memperhatikan film. Kami berdua berada di ruang keluarga dan tengah menonton film saat ini. Hal ini sudah menjadi rutinitas kami setiap akhir pekan. Aku dan Papa lebih tepatnya sebab Mila dan Aletris tidak tahan bergadang.

"Ya, Aster?" Papa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

"Kira-kira bisa nggak darah yang kering diidentifikasi di lab?"

Papa mengernyit. Ia menekan tombol pause dan menatapku lekat. "Kamu bunuh orang? Mau Papa bantu ngilangin jejaknya nggak?"

"Apa-apaan..." Aku menunjukkam ekspresi ngeri mendengar perkataan itu. Papa memang sesuatu sekali. 

"Kali aja. Kamu kan tau sendiri. Rahardi selalu punya cara untuk nutupin skandal." Papa hanya tersenyum ringan menanggapi hal itu.

"Pa." Aku memperingatkan.

"Memangnya kenapa, sih?" Tanya papa.

Aku beranjak ke kamarku mengambil kertas yang berisi sampel darah di tas golf tadi. Aku menunjukkan kertas tersebut ke hadapan papa. "Menurut Papa ini darah?"

Papa menatap lekat kertas berisikan sampel tersebut. "Gatau sih. Papa kan bukan ahli."

Aku mendengus. "Percuma nanya papa."

Papa hanya tertawa.

"Tapi papa punya koneksi sama ahli forensik."

"Aster sayang banget sama papa. Kenalin Aster sama ahli forensik itu, ya? " 

"Cium Papa." Ujarnya mengetuk pipi dan tersenyum jahil.

Aku bergeser sambil menunjukkan ekspresi jijik. "Pedofil"

"Don't worry, dear. Papa cuma nafsu sama mama kamu. Sekarang kiss papa" papa semakin merapatkan tubuhnya padaku.

"Inget. Demi kasus. Demi kasus. Kali ini aja"

Cup

"Udah. Sekarang tolong sampel ini diteliti secepatnya."

"Mintanya pake nada imut kayak artis korea" papa kelihatannya semakin tertarik saja menjahiliku.

"Nggak" Ujarku datar.

"Yasudah. Toh kamu yang perlu." Papa mengendikkan bahu dan menampilkan senyum jahil. Bagiku senyum itu terlihat seperti senyum iblis.

Aku menarik napas menahan amarah. "Papa...Aster mohon...Ya? Ya?" Kurapatkan kedua tanganku, memohon dan menatap papa dengan tatapan anak anjing. Tak lupa, bibirku yang tersenyum manis membuat Papa hampir terkena serangan jantung.

"Aw. Imutnya putri papa! Coba kalau kamu imut gini setiap hari. Duh" papa mencubit kedua pipiku gemas. Aku hanya bisa pasrah.

Aku sungguh malu. Tapi mau bagaimana lagi? Lebih baik harga diriku terluka daripada rasa penasaran ini tidak tersalurkan.

"Sini sampelnya. Biar Papa urus"

Aku memberikan sampel tersebut. Akhirnya perjuanganku tak sia-sia.

"Untuk apa, sih?" Tanya Adrian menatap sampel tersebut.

"Rahasia." Kini giliranku yang  tersenyum jahil.

Papa tertawa. "Haha. Oke. Kalau ada masalah jangan lupa bilang papa"

Aku mengangguk. "Lanjut filmnya. Aku mau tau kelanjutannya."

Papa menekan kembali tombol di remote sehingga film mulai berjalan.

"Ngomong-ngomong, Aster. Kamu mau nggak nemenin papa di acara bisnis bulan maret nanti?"

Aku menatap papa. "Loh? Kak Nalen memangnya kemana?"

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang