Aku menghirup udara dalam. Udara pada pagi hari begitu mengundang semangat. Beberapa tetesan embun masih terlihat di dedaunan. Dengan pasti, kulangkahkan kakiku. Sebelah tanganku menggenggam sekeranjang bunga
TPU AL-HIKMAH
Plang nama tersebut terpampang nyata di gapura menandakan tempat peristirahatan terakhir bagi manusia.
Dan aku kemari untuk menjenguk seseorang. Ya, Mamaku."Mila. Cepetan bangun dong! Kita udah nyampe,nih!" Aletris berteriak memanggil Mila.
Mila hanya menggeliat tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun membuat Aletris naik darah. "MILA! KATANYA MAU JENGUK MAMA!"
Mendengar teriakan Aletris, sontak Mila terbangun. " Iya Mila bangun "
"Ale jangan marah-marah begitu,dong. Nanti cepat tua." Papa mengacak rambut Aletris hingga kusut. Aletris hanya mendelik kesal pada papanya.
"Nah. Udah seger,kan? Yuk jalan" papa menggenggam tangan Mila membantunya turun dari mobil. Ia membawa buket bunga segar.
"Ah, papa jadi teringat saat ia melamar mama dulu dengan sebuket bunga dahulu." Berkali-kali papa menceritakan saat-saat melamar itu pada kami hingga kami merasa bosan. Mengingatnya, papa tersenyum. Aku yakin, papa ingin mengulang cerita yang sama lagi. Karena itu, aku sengaja jalan lebuh dahulu.
Suasana pemakaman sepi. Tentu saja, tidak ada orang lain selain mereka di pemakaman ini. Hari ini, mereka berangkat pagi buta demi menghindari macet. Selain itu, ini juga keputusan papa. 'Agar bisa sekalian olahraga pagi di taman kota tau! ' alasannya ketika aku bertanya.
Tak lama berjalan, kami mendatangi sebuah makam. Di nisannya tertulis sebuah nama yang menjadi objek Rindu keluarga kami.
Kenanga Cahyawijaya
"Kenanga sayang, aku datang lagi bawa anak-anak kita" papa tersenyum lirih.
Aku menghela napas. Kenangan bersama wanita yang melahirkanku terlintas sejenak. Senyum hangatnya, Kue kering di minggu pagi, tutur katanya semuanya berkeliling di ingatanku.
Mila menggenggam tangan papa kuat. Matanya berkaca-kaca. Diantara ketiga saudaranya, Mila adalah yang paling kecil ketika mama mereka pergi. Ia bahkan tidak ingat seperti apa rupa mama, saat mama meninggal, umurnya baru dua tahun. Sedangkan Aletris hanya menatap nisan tersebut diam. Pandangannya kosong.
"Anak-anak. Ayo kita mulai doa ya" ajak papa.
Kami menengadahkan tangan kemudian berdoa.
Doa tersebut selesai. Kini kami sedang menaburkan bunga setelah selesai membersihkan makam dan menuang air.
Aku menyadari bunga-bunga yang ditabur adalah bunga aster, kamelia, dan aletris. Aku menatap papa dengan pandangan bertanya.
"Biar mama gak kesepian ditemani anak-anaknya." Papa menjawab pertanyaan tersiratku. Aku hanya mengangguk.
"Kamelia sama Aster sih cocok, pa. Tapi Aletris kan gak cocok jadi taburan bunga. Bunganya jadi jelek." Aletris mengambil setangkai bunga yang mereprentasikan namanya sebelum menaruhnya lagi.
"Cantik, kok. Kalo ditata lebih rapi. Gak kalah sama aster dan kamelia." Papa berkata sambil mengusap nisan almarhumah istrinya.
Tak lama kemudian, makam tersebut telah rapi. Kami menatap makam dengan tatapan puas.
"Good job anak-anak! Ayo habis ini kalian papa traktir bubur ayam yang enak!" Papa memberikan jempol, memuji hasil kerja ketiga anak-anaknya.
"Tadi katanya mau olahraga. Kok malah makan, sih. Ckckck tanda-tanda tua. Abs papa tuh bentar lagi ilang!" Aletris mencibir.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...