Downfall (3)

52 4 0
                                    

Benar saja, besoknya Aku, Nava, Yasmin dan Fina dipanggil ke ruang kepala sekolah karena perkelahian di kamar mandi. Orangtua Yasmin, yang merupakan pengusaha menunjuk-nunjukku dan Nava, menyalahkan kami sebagai penyebab lebam di tubuh putrinya.

"Navia, Danilla, Minta maaf. Kalian telah menggunakan kekerasan di sekolah." Kepala sekolah, Pak Solihin memberi instruksi.

"Kenapa jadi salah saya, pak? Mereka berdua yang mulai duluan!" Nava mengepalkan tangan menatap Yasmin dan orangtuanya tajam.

"Mereka terluka lebih banyak, Nava. Berbesar hatilah." Pak Solihin kembali membujuk.

Nava bergeming. Tak berniat bergerak sama sekali.

Pak Solihin memijat kepalanya. "Yasudah Danilla. Ayo kamu minta maaf lebih dulu."

Aku mendengarnya. Tapi tak berniat meminta maaf sedikitpun. Kenapa? Benar kata Nava, kami tidak bersalah. Merekalah yang lebih dulu melakukan kekerasan fisik.

"Saya, pak?" Kutanyakan pertanyaan itu kembali bukan karena keterkejutan diperintah meminta maaf. Aku sedang mencemooh keadaan saat ini.

"Ya kamu! Siapa lagi?!" Pak Solihin berteriak. Kesabarannya kian menipis.

"Boleh saja." Aku berujar. "Tapi mereka berdua minta maaf lebih dulu." Aku mengangkat bahuku.

"DASAR ANAK TIDAK TAU DIRI! ORANGTUA MU TIDAK MENGAJARKAN SOPAN SANTUN?!" Ibunya Yasmin mengangkat tangan kearahku. Untunglah aku punya refleks yang baik. Segera kuhindari tamparan itu kesamping. Pada akhirnya, Ibu Yasmin yang memakai heels sedikit tersandung karena memukul angin.

"Main pukul saja. Persis putrinya." Nava berkomentar sarkas.

"DANILLA ASTERIA! NAVIA JESELYN! SEGERA MINTA MAAF ATAU BEASISWA KALIAN SAYA CABUT KARENA MASALAH INI!" Kini kesabaran pak Solihin benar-benar mencapai batas.

"Terserah. Toh orangtua saya mampu membiayai saya di sekolah penuh korupsi ini." Nava berkata kembali.

Aku tertawa kecil. Tidak sia-sia aku mengajarkan etika berdebat pada Nava. Dilain pihak, Pak Solihin terlihat sangat berang. Wajahnya berubah merah hingga kepala botaknya ikut berubah warna.

"Oke, kalau itu mau kalian. Beasiswa kalian saya cabut mulai detik ini." Pak Solihin tidak main-main. Ia segera menghubungi berbagai staf yang entahlah, aku tidak begitu mengerti.

Ibu Yasmin tersenyum penuh kemenangan, begitupun Fina. Aku hanya menatap mereka datar. Tidak, atensiku hanya ada pada Yasmin sejak tadi. Sementara Yasmin hanya terdiam menundukkan wajahnya, tak berani menatapku.

Tring

Benar saja, dalam lima menit, muncul notifikasi pemberitahuan dari email mereka. Menandakan beasiswa kami di cabut.

Aku dan Nava tak peduli. Tentu saja, Nava sudah terlampau lelah mental dan fisik sehingga pencabutan beasiswa ini tidak lagi menggetarkan mentalnya. Sedangkan Aku tak begitu peduli dengan keputusan apapun di sekolah ini. Seandainya aku dikeluarkan, aku bisa mendaftar dimana saja dengan kemampuan akademik dan uang.

Drrtt...

Ponselku bergetar. Kurogoh sakuku, menatap nama Papa pada layar. Ah, kabar ini telah sampai rupanya. Sekali lagi, aku terkadang heran, bagaimana bisa papa mendapatkan kabar lebih cepat dari apapun? Aku menduga mungkin ada beberapa intel papa yang menyusup di sekolah ini.

Tanpa memperhatikan kesopanan, aku mengangkat telepon itu. Tindakanku semakin membuat kepala sekolah murka.

"Halo, Pa? Oh sudah dengar beritanya? Ya. Beasiswaku dicabut."

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang