"Danilla! Bangun!"
Suara Valen membangunkanku yang telah terlelap sejam yang lalu. Aku mengucek mataku dan menatap mobil yang kini berjalan melambat.
"Kenapa kau tertidur, sih? Untung saja tidak terjadi masalah tadi!" Ia berkata sewot.
"Kita sudah sampai?"
"Ya. Kita sudah di Hull."
Aku melirik jam di tanganku. Pukul tujuh pagi Waktu Indonesia Barat. Artinya, saat ini pukul 1 pagi waktu Inggris. Kulihat jalanan lengang. Tentu saja, mayoritas masyarakat akan beristirahat untuk menyambut hari.
"Aku akan menelepon Papa." Aku menekan nomor Papa pada ponselku.
"Kamu sudah sampai, Aster?"
"Sudah. Ngomong-ngomong, Tolong siapkan Visa untuk Valencia juga. Kalau Papa tidak menyiapkannya, Aku rasa dia bisa mati dibunuh suruhan Nalendra." Ucapku singkat.
"Wow. Apalagi yang kamu lakukan disana?" Papa menghela napasnya pasrah.
"Dimana Orang Papa? Aku tidak melihatnya di Hull."
"Arah Barat Daya dari pintu masuk. Terdapat feri disana. Kecil. Tapi mudah menyelundupkan kalian dengan itu."
Aku mengernyit, cukup heran dengan instruksi Papa.
"Pa, kenapa kami harus menyelinap? Papa sudah membuatkan paspor, kan?"
Papa terlihat agak canggung menjawab pertanyaanku yang satu itu.
"Begini. Papa lupa."
Aku nyaris menarik pelatuk senjataku jika aku tidak ingat itu adalah hal yang berbahaya.
"Lupa?" Tanyaku hati-hati.
"Maaf."
Oke, mendengar permintaan maaf Papa bahkan tidak membuatku merasa lebih baik.
"Kamu tahu, kan? Terlalu banyak yang Papa urus. Papa tidak sempat, nak." Papa melembutkan suaranya, membujukku dengan panggilan 'Nak' yang tidak pernah dia lakukan.
"Terserah." Jawabku kesal.
"Kalau aku dan Valen mati tercegat di perbatasan, Papa lah yang bertanggung jawab."
"Hahaha" Papa tertawa paksa. "Jangan khawatir, Orang Papa sangat ahli, kamu tahu? Dia pernah berkali-kali jadi penumpang ilegal. Hahaha"
Aku tidak tertawa pada candaan garing Papa. Aku telah terlampau kesal soal Paspor yang tidak jadi diurus oleh Papa.
"Bukankah lebih menantang Aster? Kamu suka yang seperti itu, kan?" Papa berusaha lebih keras membujukku setelah mendengar respon diamku.
Aku menghela napas pasrah. Memang sih, kuakui aku sangat penasaran dengan perasaan tegang seperti itu. Tapi kali ini genting dan aku mau pulang, merebahkan diriku ke kasur dan tidur. Sungguh, aku benar-benar bisa mati karena lelah.
"Iya." Ujarku singkat.
"Oke? Papa telah sampai di Brussels. Akan Papa jemput kamu dengan selamat. Jangan khawatir, Oke?" Suara Papa kini kembali melembut. Aku tahu dia berniat menenangkanku. Terkadang, Aku berpikir hal itu sia-sia. Papa menenangkan aku, orang gila yang tidak mengenal rasa takut. Tapi aku tidak membantah ataupun merasa risih. Aku pikir hal itu cukup lucu. Saat ini, itu menjadi hiburan kecil yang memuaskan rasa penasaranku akan emosi dan empati.
"Iya. Papa harus menjemputku dengan selamat." Tekanku pada Papa.
"Pasti. Papa janji."
Panggilan ditutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...