Kelabu mewarnai sabtu pagi. Sabtu yang seharusnya menjadi akhir pekan membahagiakan mendadak menjadi muram. Mentari seolah malas menampakkan kegembiraannya. Mungkin tak ingin manusia terlalu gembira akhir pekan ini.
Aku menenteng tasku malas. Menuruni tangga dengan malas. Menuju meja makan dengan malas-malasan. Jangan tanyakan kapan aku berubah rajin. Biarkanlah itu menjadi salah satu rahasia yang hanya diketahui olehku tuhan.
Ruang makan hari ini terlihat sepi. Dan memang biasanya terlihat sepi. Hanya ada Aletris, adik pertamaku dan Mila, adik perempuanku sekaligus bungsu keluarga ini. Sang kepala keluarga sendiri sudah lama tidak pulang.
Aku melempar tasku dan mulai mengambil piring dan sendok. Para koki menyiapkan pancake hari ini. Aku menghela napas. Sarapan hari ini bukanlah kesukaanku tapi aku tak peduli. Toh akhir-akhirnya makanan ini akan sampai di perutku dan menjadi kotoran juga.
Aletris yang membaca raut wajahku yang menatap pancake dengan lesu.
"Kamu gak nanya kenapa sarapan kita pancake hari ini?"
"Yah. Kayaknya aku gak perlu tanya,deh" Aku hanya menjawab sekenanya sambil membawa potongan besar pancake ke mulutku.
"Ih. Ini kesukaannya Mila tau!" Mila yang merasa disinggung angkat bicara. Bibirnya cemberut menatap kedua kakaknya.
Aletris yang mendengar hal itu memutar matanya. " Suara terbanyak, dong. Gaada yang suka makanan manis di rumah ini "
"Masa dari kemarin-kemarin menu kita ditentuin kak Ale? Selera kita kan beda! Aku gasuka menu kak Ale!" Mila meninggikan suaranya.
"Diem lo, bocil. Mulut gue hambar makan pancake gak berguna lo."
Mila ingin membalas, namun dentingan sendokku menyadarkan keduanya. Pertanda aku telah selesai dan tidak mau mendengar hal tidak perlu di sabtu sial ini.
Keduanya memang tak pernah akur. Terbukti masalah pancake saja bisa membuat mereka bisa saling menyindir berujung baku hantam.
"Aku duluan. Ale, Mila jangan lama-lama. Nanti telat." Danilla bangkit dari kursinya. Mengambil tas dan langsung menuju garasi.
Baru saja aku ingin menstarter mobilnya, Aletris mengetuk pintu jendelaku. Mau tak mau, aku menurunkan kaca mobilku sebatas leher.
"Aku bareng kamu, ya kak" Aletris tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya tak berdosa.
Aku menghela napas kesal, namun tetap membukakan pintu agar Aletris dapat masuk. "Motor lo kenapa?" Tanyaku.
"Sabtu ini series game favoritku rilis. Temen-temenku mau ajak aku nongkrong sabtu ini. Males banget aku. Kalo bareng kakak kan aku jadi ada alasan biar gak nongkrong." Aletris menjelaskan panjang lebar.
"Oh" Aku hanya ber-oh singkat. Terlalu malas bertanya lagi.
Bel sekolah berbunyi, pagi ini pelajaran pertama adalah geografi. Aku menatap bangku kosong di sebelahku. Biasanya pemilik bangku itu sudah sangat berisik, mengeluh tentang banyak hal meskipun Aku sebagai sang pendengar hanya meng-iyakan saja.
Nava, pemilik bangku kosong di sebelahku tak jelas rimbanya.
Aku menopang daguku. Jari telunjukku mengetuk-ngetuk meja. 'kenapa Nava tidak masuk?'
Berbagai kemungkinan ada di pikiranku. 'apakah Nava sakit?' atau 'dia terlalu malas bersekolah di akhir pekan?' Aku mencoret dua kemungkinan tersebut. Nava adalah orang yang akan datang meski sakit atau badai hujan sekalipun. Gadis itu tidak suka berdiam di rumah. Terlalu sepi katanya.
Menilik dari ketidakmungkinan dua hal tersebut, hanya ada satu kemungkinan yang menjadi peluang ketidakhadiran Nava saat ini.
'Dita'
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...