Meja yang berantakan

59 8 1
                                    

"Papa tahu anak itu. Dulu Papa pernah bertemu dengannya."

Aku mengernyitkan dahiku. "Maksud Papa, Malik?"

Papa mengangguk tampak berpikir.

"Kalau tidak salah ingat, Papa bertemu tahun 98-"

"Itu waktu yang lama. Papa yakin ingatan Papa benar?" Tanyaku ragu.

Papa kini tak melanjutkan ucapannya dan berjalan mondar-mandir nyaris menyerupai setrika.

"Kukira, Adrian Rahardi nggak bisa lupa. Ternyata bisa." Cibirku.

Papa memicing, tanda ketidaksetujuan.

"Pakai dong, Photograpic Memory Papa! Kalau Papa nggak bisa ingat, berarti dia bukan orang yang Papa kenal. Simple."

"Enggak, Aster! Papa yakin! Struktur wajahnya sesuai ingatan Papa! Tapi kenapa Papa bisa nggak ingat, ya?" Papa bersikeras.

"Apa Papa sengaja ngelupain ya, makanya nggak inget?"

Papa kembali mengingat, sementara aku mulai menonton kartun.

"Ah! Itu! Dia anaknya teman Mamamu!"

Seruan Papa sontak membuatku menoleh penasaran.

"Ya! Sekarang Papa yakin! Mamamu Kenanga dulu punya teman, namanya Laras! Ya, Laras! Dia hamil diluar nikah. Papa ingat Mamamu terus mendesak Laras mengatakan siapa ayah anaknya."

"Oh?" Kini pembicaraan jadi menarik.

"Sekarang kita bisa temui teman Mama yang satu ini?"

Papa sayangnya menggeleng. "Nggak bisa. Dia meninggal. Jauh sebelum Mama. Kami bahkan menghadiri pemakamannya."

Aku berdecik. Kesempatan untuk mengetahui seluk beluk dan motif Malik kini buntu.

"Yang lucunya, setelah kematian Ibunya, dia bekerja sebagai pelayan Hansel. Tentu saja, Papa dan Mamamu cukup kaget mengetahui itu." Ujar Papa.

"Pelayan...Hansel?" Tanyaku ragu.

Papa kini terdiam. Dahinya mengernyit menatap foto Malik yang terpampang di meja.

BRAK

Papa memukul meja keras. Aku menatap Papa tak suka. Meja itu bisa hancur. Aku tahu, kita punya banyak uang. Tapi, Hey!

"Bodoh!" Maki Papa sambil mengusak rambutnya kasar.

"Gimana bisa! Gimana bisa Papa bodoh banget, Aster!" Papa berseru frustasi.

"Heran. Mandiri banget nyadarnya." Gumamku pelan.

"Malik, dia mirip Ibunya. Tapi matanya mirip Hansel!"

Aku terkejut. Pikiranku mulai menyambungkan titik titik misterinya.

"Tentu saja saat itu bukan hal yang aneh kalau Hansel mengambil anak itu. Toh, dia adalah teman dekat Laras. Tapi Kenapa Papa tidak berpikir seandainya—"

"Seandainya Hansel adalah ayah kandung Malik." Potongku pelan.

"Tapi belum tentu. Bisa jadi dia orang yang dipekerjakan karena berguna seperti Remiza." Gumam Papa.

"Dia yang membeli rahasia perusahaan melalui Widya dan Edric. Apa mungkin tujuannya untuk Hansel?" Tanyaku.

"Tergantung. Kalau dia nggak suka Hansel, mungkin dia mau jebak Hansel melalui Papa, kalau dia loyal padanya, Papa rasa dia cukup berani membeli rahasia perusahaan Rahardi. Tidakkah dia tahu bahwa Papa akan segera turun tangan-"

"Ulangi yang tadi." Potongku.

"Nggak suka Hansel?"

"Kalimat terakhir Papa."

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang