Pertemuan

57 5 0
                                    

Aku memperhatikan orang berlalu lalang. Hampir setengah jam aku duduk dan orang yang kutunggu belum juga terlihat batang hidungnya. Rasa penyesalan merambat di hatiku. Kenapa aku setuju bertemu di Minggu siang?

"Seharusnya aku tidur siang jam segini"  Aku menghela napas kasar.

Meski begitu, Aku tak memiliki pilihan lain. Harus kuselesaikan masa laluku cepat atau lambat.

Tak lama, seorang remaja seumuranku muncul. Ia mengenakan kaus oversize dan jumper. Tak lupa ia juga mengikat rambutnya menampilkan kesan segar dan enerjik.

"Udah lama, Nil?"

Aku menoleh mendapati orang yang kutunggu sejak tadi akhirnya muncul.

"Ya. Tiga puluh menit terlambat. Gue hampir mau pulang" ujarku sambil menatap Jam.

"Maaf. Tadi macet"

Aku tak merespon alasan tersebut dan meminum jusku. Menetralkan berbagai emosi yang saat ini tengah kurasakan.

Lama kami berdua terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata, akhirnya aku inisiatif membuka percakapan.

" Dit. Lo mau ngomong apa sama gue?"

Dita, oknum yang menyusun pertemuan hari ini menatapku tajam. "Nil. Bantu gue"

Aku mengernyit. "Kita gak dekat sampe lo harus minta tolong sama gue"

Dita meneguk ludahnya kasar. Ia tau konsekuensi kesalahan yang ia lakukan tidak dapat dimaafkan, namun ia berharap dalam hatinya agar aku membantunya. Sebutlah ia tak tau malu.

"Gue...udah putus sekolah setahun ini" Dita membalas raut wajahnya terlihat tegang.

"Gue capek hidup kayak gini. Gue gak bisa apa-apa tanpa bokap gue. Niat awal gue keluar dari rumah awalnya pengen cari nyokap gue. " Lanjutnya

Aku masih mendengarkan Dita. Tidak berusaha menyela perkataan gadis itu.

"Lucunya. Nyokap gue udah punya keluarga sendiri. Bahkan gak ngakuin gue. Miris banget ya, hidup gue?"

"Jadi lo mau apa? Hidup lo tenang? Gampang. lo bunuh diri aja." Aku terkekeh sinis.

Dita tersenyum paksa. "Andai gue punya pemikiran kayak lo. Semuanya bakal lebih cepat selesai."

Aku membuang pandanganku. Mulai merasa jenuh dengan segala ocehan Dita.

"Sejak gue keluar dari rumah, gue kerja serabutan. Makan sekali aja gue dah bersyukur banget. Karena kadang gue malah gak makan sama sekali seharian."

"Gue...tau ini bodoh. Lo bisa hina gue sesuka hati lo." Dita menundukkan wajahnya tak berani menatapku.

Aku menyeruput kembali jusku netraku menatapnya tajam.

"Gue kejebak pergaulan bebas, Nil" ujar Dita lirih.

Aku cukup kaget. Aku tau Dita memang sudah rusak sejak SMP. Tapi ia tak menyangka Dita akan terjebak di pergaulan bebas.

"Sejauh apa?" Aku masih menatap tajam.

Dita mulai menangis. Kegelisahannya berubah menjadi rasa takut yang gila.

"Gue... Kecanduan obat-obatan, Nila. Dan sekarang.. gue dipaksa ngedar"

Kutarik napas kasar. Tak menyangka semua akan serumit ini. Awalnya ia kira Dita hanyalah 'pemakai'. Tak pernah ia sangka bahwa Dita juga yang mengedarkan obat-obatan. Tapi itu bukan urusanku, kan? Aku tak peduli.

"Jenis apa?" Aku bertanya lagi.

Dita menunduk tak berani menatap wajahku. "Kokain" lirihnya.

"Dita gue gak bisa bantu lo. Kasus lo udah parah. Urus urusan lo sendiri. Gue gak peduli. Gue permisi" Aku  beranjak meninggalkan Dita. Perkataanku tidak salah, kan? Aku memang bagian keluarga Rahardi. Tapi tindakan Dita adalah tindakan kriminal yang cukup berat, dan saat ini aku belum punya wewenang dan tidak ingin memberikan bantuan pada Dita.

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang