"Lepaskan adik-adikku!" Diandra memberontak dalam kungkungan Nava dan Arum, aku semakin mendekatkan pisauku ke leher adik lelakinya. Sontak, Diandra segera mundur.
"Siapa kalian?" Matanya menatap tajam padaku.
"Kami?" Aku terkekeh. "Anggap saja korbanmu. Kami sedang mewakili korban yang berhasil anda buat kecelakaan."
Ia tampak memucat setelahnya.
"Anda belum menjawab pertanyaan saya. Siapa yang menyuruh anda?" Arum menyentak paksa tubuh Diandra yang semula merangsek maju hingga terdorong kebelakang.
"Saya melakukannya karena saya pikir anda akan menggunakan jasa saya untuk memperbaiki mobil anda. Inisiatif saya sendiri" Ia memalingkan wajahnya.
Nava sontak melotot. Orang ini jelas suruhan, bahkan buktinya telah terpampang jelas. Namun masih berkelit.
"Kenapa anda tidak langsung membuat mobil kami mati saat itu? Secara logika, jika anda ingin memeras maka anda harus membuat mobil kami tidak dapat dihidupkan mesinnya. Apa aku salah?" Nava bertanya penuh penekanan.
"Saya... Salah memotong kabel. Saya memotong kabel rem."
"Yakin dengan jawabanmu?"
Diandra menatapku. Ekspresi wajah dan gerak-gerik tubuhnya menunjukkan bahwa ia sedang panik dan mencari alasan. Sudah kuduga, Ia berbohong.
Sreek
Aku menggoreskan pisauku ringan pada leher adik lelaki Diandra. Tidak dalam dan pendek, tidak lebih dari 2 cm.
"Ugh!" Remaja itu refleks berusaha menahan pisau dan memberontak.
"Satu jawaban bohong, dua senti saya menyayat leher adikmu." Ujarku tenang.
Nava menatapku, terkejut dengan tindakanku. Lewat tatapan mataku, aku mengasumsikan bahwa ia sedang menimbang apakah ancaman ini perlu dilakukan dan baik-tidaknya tindakan ini bagi moralnya.
"Riza!" Diandra berteriak dan kembali memberontak. Sayang ikatan yang dilakukan Nava pada tangan dan kakinya memaksa gerakannya menjadi terbatas. Dengan mudah, Arum menahan dan menarik kembali tubuhnya kebelakang hingga membentur jok.
"Satu kebohongan, pisau ini akan bertambah dua senti. Saya akan mengiris semakin dalam hingga mencapai karotid arteri nya. Saya pikir kamu mengerti, kan?" Aku menatap lurus netra Diandra dan tersenyum manis. Oh, harusnya manusia normal tidak boleh tersenyum pada saat seperti ini. Ayo, pasang wajah datarmu, Danilla!
"Saya ulang pertanyaannya." Aku adalah satu-satunya orang yang berbicara setelahnya.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Tu..Tuan Malik."
Sreek
"Argh! Kakak!" Riza, adik lelaki Diandra memekik tertahan karena aku semakin menancapkan pisau pada lehernya sebelum membuat garis melintang sebanyak dua senti.
"Saya tidak tahu! Saya tidak tahu apa-apa! Lepaskan adik saya! Dia tidak ada hubungannya dengan ini!" Diandra berteriak, nyaris putus asa. Ah, ekspresi kesukaanku.
Sreek
"Saya sudah katakan, Jawab yang benar." Aku tersenyum manis pada Diandra yang putus asa.
Arum menatapku melihatku yang semakin berani seolah itu adalah hal yang wajar. Sisa 4 senti lagi hingga aku berhasil mengiris arteri karotid itu.
"Nalendra dan Tunangan—"
Sreek
Aku menatap Diandra dan tersenyum. Sebelum mengeratkan pisauku dan bersiap mengambil ancang-ancang mengiris senti terakhir hidup adik Diandra.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...