Satu minggu berlalu sejak hasil olimpiade diumumkan. Sekolah kini berhasil mendapatkan juara berkat usaha seluruh tim Olimpiade. Untuk itu, aku dan keempat rekanku dipanggil maju ke depan saat upacara sebagai murid yang mengharumkan nama sekolah. Tak kulihat raut wajah kecewa di wajah keempatnya, meskipun mereka tidak mendapat peringkat pertama sepertiku. Semuanya puas dengan hasil masing-masing, bahkan Jendra yang biasanya selalu khawatir dengan nilainya.
Hasil mereka memang tidak buruk, untuk kategori tingkat sembilan, terdapat aku yang mendapatkan peringkat pertama disusul Nava yang mendapat peringkat kedua. Lalu, untuk tingkat delapan, Jendra mendapat peringkat sepuluh, disusul Remi yang mendapatkan peringkat lima belas. Lalu Tasha, satu-satunya murid kelas tujuh yang mengikuti olimpiade mendapat peringkat tiga belas.
Kini, Aku, Dita, dan Nava sedang belajar keras menyambut ujian tengah semester yang besok akan diadakan. Ralat, hanya Dita dan Nava saja yang belajar karena sejak tadi, aku sibuk men-scroll instagram milikku, melihat berbagai pakaian yang dipakai oleh para model terkenal.
"Nava, ini bener cara ngerjainnya gini?" Dita menyodorkan buku latihan matematika yang sudah terdapat berbagai coretan pada Nava.
"Iya, udah bener. Bagus. Kalau performa lo kayak gini terus, gue yakin lo bakal dapet ranking pertama paralel semester ini." Nava menyemangati sambil mengoreksi jawaban matematika Dita dengan cermat.
Dita menatap Nava kesal. "Jadi maksud lo selama ini gue bodoh?"
"Hah? Gue nggak ada bilang lo bodoh, Dita." Nava berujar heran.
"Lo pikir gue nggak bisa dapatin ranking pertama paralel itu? Gue juga bisa, Nav!" Dita berujar emosi.
"Dita, lo apa-apaan sih? Gue nggak ada ngomong begitu! Gila, lo!" Nava menggelengkan kepalanya lalu beralih pada bukunya kembali, menghindari pertengkaran tidak berguna.
"Gue nggak suka! Lo bilang begitu seakan-akan gue nggak bisa dapetin peringkat pertama paralel di semester lalu! Ya, Gue tau. Gue nggak jenius kayak kalian yang bisa dengan mudah nyerap pelajaran, gue agak lamban!" Dita meninggikan intonasinya.
Nava yang semula ingin menghindari konflik mendadak emosi. Dia hanya berniat menyemangati Dita! Ada apa dengan anak itu hari ini?
"Dita, gue cuma mau nyemangatin lo." Nava sedikit meninggikan intonasinya. Berusaha membela diri karana kesal dengan berbagai macam keluhan yang Dita lontarkan.
"Nggak butuh. Gue mau pulang. Nil, lo nggak pulang sama gue?" Ajak Dita padaku yang sejak tadi menikmati pertengkaran mereka.
"Nggak mau." Aku menggeleng.
"Lo janji hari ini gue boleh belajar sampai malam di rumah lo!" Dita kembali kesal.
"Yaudah. Lo pergi lebih dulu ke rumah gue. Tunggu gue di rumah. Gue masih mau disini." Ujarku santai.
Perempat siku terlihat jelas di pelipis Dita. "Oh, sudah punya teman baru rupanya! Teman lama dilupakan! Amnesia mendadak, lo? Gak inget siapa yang dulu nemenin lo waktu nggak ada yang mau temenan sama lo?" Serunya marah, kali ini pada sahabatnya, Aku.
Nava merasa kesal sekaligus bingung dengan tingkah Dita belakangan, ia mudah marah dengan hal kecil. Mungkinkah Dita cemburu dengan kedekatan Danilla dan dirinya?
"Nggak tuh, gue masih inget. Nggak lupa. Gue kan nggak kecelakaan terus amnesia." Aku mengendikkan bahuku santai.
"DANILLA!"
"Lo panggil gue, Radita Andini?" Aku membalas, membuat Nava merasa cemas dengan pertengkaran kami.
"Terserah lo, deh! Gue mau pulang!" Dita mengangkat tasnya kemudian beranjak keluar ruangan kelas sembilan sambil membanting pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...