Pra-Tragedi (2)

48 4 0
                                    

Setelah Jendra meninggalkan kantin, Nava datang.

"Sori bestie! Lo tau, kan gue paling lemah Biologi" Nava menarik kursi disampingku.

Aku mengangguk. "Gak papa."

Nava mengangkat alisnya heran. "Tumben lo gak protes?"

"Gue dapat teman baru. Sama kayak lo, dia menarik." Aku menopang daguku kembali dengan malas.

"Hah?" Nava melongo pertanda tak mengerti dengan perkataanku.

"Anyway... Baca dokumennya." Aku menyerahkan dokumen kepada Nava. Nava membaca sejenak. Raut wajahnya terlihat khawatir.

"Nil. Ini termasuk kekerasan, kan?" Nava menyerahkan kembali dokumen tersebut.

Aku kembali mengangguk. "Seharusnya begitu "

"Jadi langkah selanjutnya harus bagaimana, Nil?" Nava mengeluarkan ponsel guna mencatat hal penting terkait dokumen yang baru ia baca tadi.

"Nav." Aku memanggil membuat Nava menatapku. "Apa menurut lo kita gak sebaiknya ikut campur?" Aku berbisik pelan hingga suaraku hanya dapat terdengar oleh Nava.

"Lo gila, Nil! Dita temen lo, temen gue! Lo mau biarin dia gini?!" Nava balas berbisik. Meski begitu, kata-katanya penuh penekanan.

"Nava. Om Rizal bukan orang sembarangan. Dia salah satu pengusaha sukses di Indonesia. Membuat hukum berpihak padanya bukan hal sulit. Memangnya bocah SMP seperti kita bisa apa?" Aku balik bertanya.

"Nila. Kita bisa lapor ke lembaga perlindungan anak dan perempuan. Kalau masih tidak dapat dilakukan juga, kita bisa menyebarkan melalui media sosial, kan? Lagipula kita punya bukti dan.."

"Nav. Bukti kita nggak kuat sama sekali. Kita memang memotret seluruh dugaan barang bukti. Tapi lo lupa, bukti kita bisa aja dibalikin. Kita bisa kena pasal pelanggaran privasi, kan?" Potongku.

Nava terdiam. Aku memang tidak salah. Ia rasional dan berpikir jauh ke depan. Namun, hati nurani Nava tak dapat menerimanya. Menurutnya, semua anak-anak di dunia ini tidak layak diperlakukan dengan kasar.

Nava memijat batang hidungnya frustasi.

"Tapi...Kalau Dita memberi kesaksian sendiri, mungkin itu bisa dijadikan bukti." Ujarku.

Nava seolah mendapat lampu hijau menggebrak meja. "Bagus! Ayo bicara padanya ketika ia masuk sekolah."

"Tapi, Nav. Lo harus tau. Selama hampir 8 tahun gue temenan sama Dita, nggak pernah sekalipun dia berbicara buruk mengenai Om Rizal. Besar kemungkinan pernyataan darinya akan bersifat defensif." Mendengarnya, Nava kembali terduduk lesu.

"Tapi.. banyak jalan menuju Roma."

Nava memiringkan kepalanya bingung.

"Di rumah itu, bukan cuma Dita dan ayahnya saja yang tinggal, kan?"

Nava berpikir sejenak. "Ah! Bi Siti?" Tanya Nava antusias.

Aku mengangguk mantap. "Lo inget waktu kita tanya tentang Dita Bi Siti kelihatan ragu?"

Nava mengangguk bersemangat. "Ya! Itu artinya dia tahu mengenai kekerasan di rumah majikannya dan berusaha menutupi?"

"Ada kemungkinan seperti itu. Mungkin kita bisa pakai kesaksiannya. Itupun kalau dia berkenan." Aku kini menyilangkan tanganku.

"Oke. Itu artinya tugas kita bertambah lagi. Kita harus yakinin Bi Siti." Nava mencatat hal tersebut di memonya.

Aku memerhatikan berbagai perubahan ekspresi Nava. Tertarik. Benar dugaanku, Nava berusaha sekuat yang ia bisa untuk membantu Dita.

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang