Membunuh dua burung dengan satu batu

50 4 0
                                    

Aku dan Remiza turun dari Bus. Kini, kami sudah jauh meninggalkan rumah Hansel. Sepanjang perjalanan, hanya keheningan mengisi. Aku fokus melihat pada jalanan sedangkan Remi hanya tidur sambil sesekali menatapku lama, terlihat ingin bicara.

"Lo serius nggak punya mobil?" Tanyaku sekali lagi.

"Harus berapa kali lagi gue bilang?" Remi berjalan di depanku dan menghela napasnya.

"Kalau Lo udah ngerencanain ini dari lama, setidaknya Lo ngelakuin persiapan." Ujarku ketus. Aku sudah terlalu lama berjalan hingga kakiku sakit.

"CK! Diem anjing!" Makinya padaku.

"Gue bakal diam kalau rencana Lo mateng! Ini nggak!"

Remi hanya diam tak menjawab sambil menggerutu kesal.

Ngomong-ngomong, saat ini kami masih berada di Inggris, tepatnya Kota Birmingham. Butuh sekitar 2 jam menuju London.

"Ngomong-ngomong, Gue yakin Lo bakal diburu Hansel."

"Gue tau konsekuensinya." Ujarnya. Wajah Remi terlihat muram. Itu bukan jenis wajah percaya diri dan merendahkan khasnya lagi.

Remiza Riantama yang sekarang telah jauh berubah. Kantung gelap terlihat jelas diwajahnya, rambut ikalnya kini telah panjang mencapai leher yang diikat asal, fitur wajah Remi yang manis dengan kulit putih kini terganti dengan wajah lelah mendominasi. Aku mengira-ngira tinggi badan Remi dengan Aletris. Kelihatannya, Aletris masih lebih tinggi. Mungkin, ia sedikit lebih pendek dibanding Jendra.

"Itupun kalau Hansel masih bisa bangun." Aku terkikik pelan.

"Gue taruh arseniknya sedikit"

Aku mendelik menatapnya dari atas kebawah.

"Remi, Gue kira Lo orang gila yang nggak takut apapun, ternyata Lo masih punya rasa takut juga, ya? Harusnya Lo masukin lebih banyak."

"Ya.. Gue kan bukan Lo!" Remiza mendengus.

"Tapi kayaknya dia bakal selamat, deh. Dia punya penawar saking takutnya mati."

"Oh ya?"

"Ho oh. Heran aku ada orang segila itu yang takut mati."

Aku kini hanya tersenyum. Orang segila itu sih, ada. Contohnya Papa yang mulai menenggak sedikit racun saat muda setiap hari biar kebal. Oh, bisa jadi aku juga akan menenggaknya saat sudah sedikit dewasa.

"Kita bisa ke Bandara Heathrow langsung, Rem? Atau kita harus mengambil rute lain?"

"Sepengetahuanku, Bandara pasti sudah diawasi oleh Ceddric dan Nalen, yang tersisa cuma rute menuju Belgia. Tapi aku yakin itu juga sudah terlacak. Ada pengkhianat diantara orang Papaku." Mendengar penjelasanku, Remi tampak berpikir.

"Ngomong-ngomong, ini hari apa?" Tanyaku.

"Ini? Rabu."

Aku mengangguk. Waktu berlalu begitu cepat. Aku, Nava, dan Arum pergi menuju Inggris malam, waktu Indonesia dan sekarang sudah Rabu.

"Oh! Kalau gitu kita pesan kamar hotel dan menunggu saja. Aku yakin Papaku akan mencari kita. Lo bawa uang nggak? Kita beli hp baru. Akan gue hubungi Papa. Atau lo punya uang receh? Gue bisa pakai telepon umum. "

"Gue bisa nafsu sama saudara gue sendiri. Lo nggak mau kan terjadi hal yang nggak diinginkan?" Ujar Remi pelan.

"Hah? Siapa yang saudara lo, Bego?" Aku menggeleng. Otak anak ini kelihatannya tertinggal di markas Hansel.

"Lo."

"Hah?" Aku tak mampu menjawab lagi karena speechless.

"Gue anak dari Adrian Rahardi."

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang