Danilla, Dita, Nava

63 3 0
                                    

Danilla, Dita, dan Nava. Siapa yang tak mengenal ketiga orang ini? Ketiganya merupakan murid-murid cerdas yang selalu mengharumkan nama sekolahnya di berbagai kesempatan.

Masih segar di ingatanku saat kamj masih berteman. Tidak ada kekhawatiran. Siapapun tau, kalau persahabatan tersebut adalah sebuah persahabatan tiga remaja yang murni. Terdapat persaingan sehat dalam mengejar prestasi meski kami adalah siswi-siswi terbaik di sekolah dulu.

Aku ingat hari itu adalah hari senin. Hari paling menyebalkan bagi hampir seluruh siswa termasuk diriku.

Aku menatap seragam putih biruku dengan malas. "Pengen bolos."

Namun mengingat ini adalah hari yang penting, aku menghela napas. Cepat-cepat mengenyahkan pikiran malasku.

Dengan segera kukenakan seragamku kemudian keluar dari kamar, berjalan menuju meja makan untuk sarapan pagi bersama.

"Pagi. " Aku berujar lesu menyapa seluruh keluargaku.

"Mornin' Aster. Kenapa sih males-malesan gitu? Ini hari pertama kamu masuk kelas baru, kan? Jangan gak semangat gitu ah. " Papa memperingatiku yang kubalas dengan deheman singkat.

Ya, ini adalah hari pertamaku memasuki tingkat baru di sekolahku alias naik kelas. Aku memang terpilih mengikuti program akselarasi sehingga tidak harus menjalani kelas delapan dan langsung naik ke tingkat sembilan. Dengan kata lain, lompat kelas satu tahun.

"Enak bener jadi orang pinter, ya pa. Coba aja Mila kayak Kak Nila!" Mila berujar antusias.

"Gaenak, tau. Hidupnya mikir mulu. Apa-apa dipikirin. Kalo Ale jadi kak Nila mungkin Ale gak akan sanggup." Aletris menyuarakan pendapatnya.

"Ck. Yang bilang sendiri juga selalu jadi juara pertama setiap tahunnya." Mila menatap Aletris sinis.

"Sirik kamu" Aletris mengendikkan bahunya membalas Mila acuh.

"Gimana sih, biar Mila dapat nilai bagus kayak kalian? Masa cuma Mila di keluarga ini yang gak pernah juara"  Mila bertanya penasaran.

"Belajar. Belajar sampe mampus. Sampe otak mau meledak" jawab Aletris asal.

"Itu mah udah!" Mila mengerucutkan bibirnya kesal.

"Ya maksimalkan lagi." Jawab Aletris kembali.

"Ah! Kak Ale gak asik!"

Aletris tampak ingin membalas, namun Papa memotong perkataannya lebih cepat.

"Udah... Udah.. ayo cepat makan. Kalian gak mau telat kan?" Papa menengahi pertengkaran Mila dan Aletris.

"Nggak juga sih. Aku suka tantangan dan ujian juga termasuk salah satu tantangan menarik. Ya, cara mencapai nilai memuaskan saat ujian ya belajar. Udah itu aja. Gak ada yang menarik dariku" ucapku menyela pembicaraan.

"Skip. IQ 154 mah beda." Aletris menatapku kesal.

Aku mengernyit. Tidak ada yang salah dengan ucapanku kan?

Semuanya menyelesaikan makanannya dan bergerak demi menjalani kesibukannya masing-masing.

Ponselku berdering. Aku mengangkat ponsel setelah membaca nama yang tertera di layar. "Halo?"

"Nila! Lama banget sih! Ini tuh hari penting tau! Hari ini bakal diumumin kalo kita menangin olimpiade nasional itu di semua murid! Cepetan datang, dong!" Oknum yang meneleponnya adalah Dita, temanku sejak kecil.

Aku sudah berteman dengannya selama 8 tahun. Sejak berumur 6 tahun. Bahkan, orang tua kami sudah saling mengenal, meski aku hanya sebatas tau mengenai ayah Dita begitupun sebaliknya.

ASTER ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang