Telah genap sebulan aku berdiam diri dirumah, besok adalah hari pertama ujian akhir dan hari pertamaku bersekolah kembali setelah sekian lama di skors. Aku sejujurnya sudah tak peduli lagi dengan semua ini. Begitupun dengan ujian. Fokusku hanya ada pada penyelesaian kasusku dan Nava.
Kini, aku tengah berdiri di lapas anak. ada sesuatu yang harus kulakukan. Ada seseorang yang harus kutemui menjadi pelengkap dalam pertunjukan terakhir nantinya.
Gajendra Anta.
Anak itu kunci kasus ini.
"Mau jenguk siapa, dik?" Salah satu sipir bertanya padaku.
"Gajendra Anta. Dia teman saya." Ujarku.
"Kamu masih dibawah umur, ada wali?"
Aku memanggil Arum yang dengan segera menghampiriku.
"Isi dahulu formulirnya." Sipir itu menunjuk pada formulir yang segera kuisi.
"Waktu kunjungan 20 menit." Sipir membuka pintu. Terlihat sebuah kursi untukku duduk dan sebuah kaca yang menghalangi antara pengunjung dan narapidana.
Aku menunggu dengan sabar, memperhatikan setiap sisi ruang kunjungan itu dengan cermat untuk mengisi waktu luangku.
"Danilla?"
Perhatianku yang semula ada pada langit-langit ruangan kini kembali terfokus pada sumber suara.
"Hai Jen." Aku melambaikan tanganku dan tersenyum singkat sebelum kembali keraut wajah datarku.
Jendra terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Matanya cekung, dan rambutnya tidak terawat.
"Kenapa lo jenguk gue?" Akhirnya dia bertanya pelan.
Aku menatap Jendra sejenak. "Gak ada, sih. Anggap aja gue gabut." Aku mengendikkan bahu.
Jendra hanya tertawa pelan. Itu candaan pertamanya sejak ia masuk dalam lapas. Setidaknya ia sedikit rileks saat ini.
"Jen." Panggilku.
Jendra menoleh.
"Lo tau kalau gue dan Nava dituduh ngelakuin prostitusi?"
Jendra membulatkan matanya. "Hah?!"
"Oh, lo belum tau sampai situ, ya? Gue kena imbas karena bela Nava." Ujarku.
"Bukannya.. Nava adalah seorang pemakai?" Jendra kini menegakkan tubuhnya serius.
"Tes urine kedua Nava negatif. Dia dijebak." Jawabku.
"Ah, kalau begitu yang paling mungkin melakukannya adalah anak-anak yang melakukan tes urine bersama Nava?" Tanya Jendra.
"Begitulah." Jawabku sekenanya.
"Jen." Aku kini bertanya.
"Lo bukan pengedarnya, kan?"
Jendra hanya menatapku, lalu tertawa. "Kan buktinya udah ada? Aku bawa banyak sabu ditasku."
Aku hanya terdiam. "Siapa yang sebenarnya? Siapa orang yang udah ngancam lo? Pakai apa lo diancem?" Aku memborbardir pertanyaan.
"Sudah kukatakan itu aku. Buktinya ada padaku." Jendra berujar jemu.
"Yah. Kalau lo terus berpikir itu lo, sayang banget. Padahal aku punya kartu buat ngancurin orang yang buat lo ada di posisi ini." Aku berkata acuh.
Jendra kini menatapku ragu. "Kartu?"
Aku mengangguk. "Akan kuhancurkan anak ayam sekaligus induknya." Aku tersenyum miring.
Jendra menggelengkan kepalanya. "Gue takut." Ujarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASTER ✅
Teen FictionDanilla Asteria Rahardi adalah definisi sempurna. Ia memiliki teman yang baik, rupa yang luar biasa, keluarga yang menyayanginya dan harta yang melimpah. Singkatnya, ia memiliki segalanya. Namun, semua berubah ketika orang dari masa lalunya kembali...