Meet | 20

1.1K 136 12
                                    

Kenapa harus aku?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kenapa harus aku?







Pertemuan Keduapuluh

Setelah saling terbuka, Tita dan Erdit jadi dekat. Bukan berarti dekat yang serius. Mereka hanya berteman. Bedanya, intensitas pertemuan dan komunikasi mereka lebih sering dari biasanya.

Tita juga tidak pernah cuek lagi dengan chat-chat yang dikirim Erdit. Ya Erdit sih, senang-senang aja. Seneng banget malah. Dari awal ‘kan dia memang niat deketin Tita.

Tita sendiri masih ingin membantu Erdit untuk menyembuhkan penyakitnya. Beberapa kali ia membujuk Erdit agar mau terapi.

Erdit tidak langsung mau. Sempat salah memilih psikolog membuatnya ragu. Ia takut alih-alih sembuh penyakitnya malah semakin menjadi-jadi padahal dia sudah capek-capek membeberkan masa lalunya. Lalu, bagaimana kalau psikolog itu mengenalnya yang adalah public figure dan sudah terlanjur tahu luka lama yang dia tutupi selama ini? Bisa jelek nama Erdit.

Tapi, Tita tidak menyerah. Dengan cara halus dan tidak memaksa Tita terus membujuk Erdit untuk pergi ke psikolog. Psikolognya pun bukan sembarangan. Tita menganjurkan Erdit menemui psikolog yang biasa dia temui yang bisa Tita pastikan sudah ahli dan tidak akan membocorkan rahasia Erdit.

Akhirnya, setelah beberapa kali bujukan dari Tita dan juga mendapat jaminan dari Tita, Erdit pun bersedia diterapi. Tita pun mengenalkannya pada psikolognya selama ini.

“Hai, Tita. Apa kabar? Lama banget nggak ketemu kamu,” sapa psikolog yang bernama Anna yang menyambut kedatangan Tita dan Erdit dengan hangat.

“Iya, Mbak Anna, maaf aku jarang kesini.”

“Jangan salah paham lho. Aku bukannya ngedoain kamu buat berobat lagi kesini. Justru aku seneng kalau kamu jarang kesini. Itu artinya kamu udah baik-baik aja, nggak perlu aku lagi.” Anna tersenyum, “Oh iya terus gimana? Ini temen yang kamu maksud, ya?”

“Eh, iya, Mbak. Kenalin ini Erdit. Erdit, ini psikolognya. Gue biasa manggilnya Mbak Anna.”

“Halo, Mbak Anna. Erdit.” Erdit menjulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Anna. Dengan sopan Anna menyambutnya, “Hai, Erdit. Saya Anna. Apa kabar?”

“Baik, Mbak.”

“Eh, kita duduk dulu, yuk.”

“Saya udah denger cerita kamu dari Tita, Erdit. Saya cuma mau bilang saya menyesal kamu pernah salah mendapat treatment dari psikolog. Sebenarnya itu biasa terjadi. Kayak milih pasangan, psikolog pun juga cocok-cocokan. Saya nggak mau percaya diri dengan bilang kamu berada di tangan yang tepat, tapi saya akan bantu kamu semaksimal mungkin.”

“Makasih.”

“Ya udah, Mbak, kalau gitu aku tinggal, ya. Dit, gue tunggu di luar, ya,” pamit Tita memilih untuk tidak mengganggu sesi konseling Erdit.

When She Meets The Bad Boy [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang