Menjadi wanita yang diinginkan pria-pria seksi, punya karir bagus dengan menjadi editor di sebuah majalah, wajah cantik, tubuh seksi, ternyata tidak lantas membuat Titania Aufaa bahagia. Tita terpaksa menelan pil pahit dalam salah satu fase kehidupa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Apa yang bisa aku lakukan dengan masa lalu yang nggak bisa aku ubah?
Pertemuan Kelimapuluh satu
Sofa hitam panjang yang diduduki sepasang kekasih itu seharusnya terasa hangat di bawah pendingin ruangan yang menyala dengan suhu 16 derajat celcius. Apalagi mereka saling berpelukan di atas sana.
Erdit memeluk Tita erat seakan tidak mau dia lepaskan, sementara Tita sendiri sudah hampir tiga puluh menit menangis. Pasti matanya sudah bengkak sekarang.
Membelai surai hitam sang kekasih, pikiran Erdit melayang ke dua jam lalu. Saat ia yang frustrasi memikirkan bagaimana lagi cara memperbaiki hubungannya dengan Tita diberi ide oleh Joy untuk melakukan sesuatu yang pasti membuat Tita menemuinya.
Bodohnya dia menerima ide Joy itu. Otaknya yang sudah buntu memikirkan bagaimana lagi cara agar Tita mau memaafkan dan kembali padanya membuatnya mau tak mau menerima usul Joy yang malah berakibat fatal. Padahal dia tahu bagaimana histerisnya Tita saat mereka di Perancis.
Kenapa dia bisa melupakan hal itu? Dia benar-benar bodoh.
Erdit menyesal, sungguh.
Berkali-kali ia menggumamkan kata maaf di puncak kepala Tita yang berada dalam dekapannya.
Sadar sudah terlalu lama berada dalam posisi itu bersama Erdit yang seharusnya dia marahi, Tita pun beringsut menjauh. Erdit dengan sigap bergerak menuju lemari pendingin yang memang sengaja dia taruh di ruangan pribadinya di kantor ini, mengambil satu air mineral dari sana, lalu memberikannya pada Tita.
“Minum dulu, Ta.”
Tita menolak, “Aku mau pulang.” Seharusnya sejak tadi dia pulang. Menjauh sejauh-jauhnya dari Erdit yang sudah tega membohonginya. Bukannya malah bersandar dalam dekapan lelaki itu. Salahkan rasa lelahnya, jiwa dan raga, hingga dia tidak bisa menolak saat Erdit membawanya ke ruangan ini.
“Aku anter, ya.”
“Nggak perlu.”
“Ta, kamu lagi kacau.”
“Aku begini juga gara-gara kamu. Kenapa kamu kekanak-kanakan sih, Dit?” Tita memang mengatakannya dengan pelan. Tapi, Erdit tahu Tita masih marah.
“Ini semua rencananya Joy.”
“Terus kenapa kamu mau? Kamu tau nggak seharusnya kamu bercanda hal kayak gitu sama aku. Kalau aku jantungan gimana? Kalau aku kecelakaan di jalan gimana?”
“Aku cuma mau maaf dari kamu," lirih Erdit.
“Kamu bilang kamu nggak salah. Kalau kamu nggak salah, kenapa minta maaf?”
“Karena aku bikin kamu salah paham. Karena waktu itu aku nggak tegas sama Laura. Karena...udah bikin kita jadi kayak sekarang.”
“Aku kasih maaf yang kamu mau. Udah, kan? Sekarang, aku mau pulang.”