Menjadi wanita yang diinginkan pria-pria seksi, punya karir bagus dengan menjadi editor di sebuah majalah, wajah cantik, tubuh seksi, ternyata tidak lantas membuat Titania Aufaa bahagia. Tita terpaksa menelan pil pahit dalam salah satu fase kehidupa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ini lebih dari pembuktian yang aku inginkan. Lebih dari pembalasan dendam yang aku rencanakan.
Pertemuan Keempatpuluh tujuh
Nada sambung dari ponsel di seberang sana terdengar untuk kesekian kalinya di telinga Erdit. Sampai dia bosan karena mendengar suara yang sama untuk satu jam lamanya. Kalau bukan karena untuk menghubungi gadisnya, dia tidak akan sudi melakukan itu.
Erdit mencoba menghubungi ponsel Tita. Sudah tidak terhitung berapa kali jumlahnya, mungkin dua puluh kali? Tiga puluh kali?
Katakan dia bodoh. Sudah tahu Tita tidak akan menjawab panggilan teleponnya, tapi dia terus coba berulang kali.
Dia hanya merindukan kekasihnya. Masih kekasihnya, ‘kan? Seingatnya, tidak ada kata putus dari mulut Tita, sesuatu yang patut dia syukuri.
Dia ingin mendengar suara gadisnya, ingin tahu kabarnya, apa dia sudah sampai di Jakarta? apa perjalanannya baik-baik saja? Apa dia tidak melewatkan makan malam? Apa dia bisa istirahat cukup?
Apa dia merindukannya juga?
Mengumpat, Erdit melempar ponselnya asal ke jok sebelah. Menghela napas panjang, ia sandarkan kepalanya dengan lemah di kepala jok mobil. Ia tidak menyetir, tidak bisa lebih tepatnya. Dan lebih memilih meminta Deka untuk menyupirinya menuju kediaman Ratna.
Ia butuh tidur sebentar. Karena masalahnya insomnianya kambuh lagi. Kalau tidur paling hanya satu jam. Pusing ia memikirkan masalahnya. Belum lagi ia harus bertemu ayahnya yang syukurnya bisa ia atasi dan tidak panik dengan kemampuan relaksasi yang diajarkan Anna.
Tapi, tetap saja. Ia butuh Tita. Perasaannya akan jauh lebih baik jika ada Tita di sampingnya. Atau sekadar memamerkan pada gadis itu bahwa dia sudah bisa berhadapan dengan sumber ketakutannya. Sumber mimpi buruknya selama ini.
Ah, Tita.
Memikirkan bisa memeluknya saja sudah bisa membuat ribuan kupu-kupu di perutnya beterbangan. Apalagi kalau direalisasikan.
Kamu beruntung, Tita. Kamu berhasil memenuhi lebih dari setengah bagian pikiran seorang Erdit Aulian, si penakluk wanita yang sama sekali tidak pernah berusaha menghubungi perempuan berkali-kali demi untuk mengatakan bahwa dia rindu, tidak pernah berusaha meminta waktu seorang wanita hanya untuk sebuah penjelasan yang sebelum pada wanita lain dia merasa masa bodoh wanita itu mau percaya atau tidak padanya.
Dan sekarang, kamu sukses membuatnya melakukan itu semua, Tita.
***
“Kemana Erdit, Shinta? Belum datang?”
“Erdit semalam tidur di rumah, Ma.”
“Syukurlah. Maaf, ya, Shin. Mama ngerepotin kamu. Padahal kamu lagi hamil besar tapi harus nungguin Mama di sini.”