JANGAN MENYERAH.

922 111 10
                                    

Jangan menyerah, begitu katamu.
Tapi, bagaimana jika masa lalu bertamu?

Schatje, aprilwriters.

***

"Silakan diminum." Karenina meletakan secangkir teh di permukaan meja, ia tersenyum canggung dan duduk di seberang wanita itu, mantan kekasih Denial yang kedatangannya benar-benar mengejutkan. Entah harus bagaimana Karenina menjelaskan hubungan antara mereka, tak layak disebut musuh karena Karenina tak pernah menganggapnya seperti itu meski Benaya pernah melakukan sesuatu yang membuatnya benar-benar takut oleh pasak jagor penuh darah.

Karenina tak membenci Benaya, tidak sama sekali, ia juga enggan menyalahkan wanita itu atas segala masa lalu kurang baik antara mereka, semua kan terjadi tanpa diduga-duga. Mereka sebatas terkurung oleh situasi sialan yang menyakiti perasaan masing-masing. Mereka hanya manusia biasa, sesederhana itu Karenina mendeskripsikan tentang mereka. Bukan teman, tapi juga tidak bermusuhan.

Benaya ikut tersenyum, "Makasih." Ia meletakan tasnya di dekat cangkir teh, lalu menatap Karenina tepat di manik cokelatnya, ini kali pertama mereka bertemu hanya berdua.

"Eum, kamu bisa tahu saya ada di sini?" tanya Karenina, ia masih berupaya mengubah kecanggungan meski tak benar-benar lenyap.

"Bener." Benaya mengangguk. "Aku ke rumah kamu, tapi sepi nggak ada orang, terus ketemu satpam komplek, dia kasih tahu lokasi kamu di sini." Ah begitu, lagipula Parmini masih di Tegal, satu jawaban yang mudah diterima. "Aku baru di Jakarta dua hari lalu. Kamu apa kabar, Karenina?"

"Saya baik-baik aja, seperti ini." Seingatnya, mereka bahkan tak pernah saling menyapa, kenapa situasi memaksa untuk saling berbicara, ini mulai menyiksa Karenina.

"Ada yang mau aku bahas."

Saya tahu.

"Oh, boleh kok. Kebetulan waktu saya luang, mau di sini aja?"

Benaya mengangguk. "Iya, di sini aja." Ia menatap sekitar, suasana begitu sepi meski jauh di belakang mereka banyak lalu-lalang kendaraan, sekarang hanya angin-angin yang sibuk mengajak bercengkrama.

"Aku pulang ke Jakarta bukan tanpa tujuan."

Saya juga tahu.

Karenina tersenyum tipis, ia memperhatikan seksama bagaimana ekspresi mantan kekasih Denial itu, penuh keragu-raguan dan pertimbangan.

"Karenina, kamu bisa nggak lepasin Denial." Benaya mengatakannya dengan tegas dan tanpa jeda, tanpa terbata-bata seolah kalimat itu sudah menggantung di kerongkongan dan harus segera dimuntahkan. Namun, Karenina tak lantas menanggapi, wanita itu memilih tetap diam. "Semenjak malam itu—waktu Denial lari gitu aja dari bandara, aku bener-bener sakit hati, aku pergi ke Korea sendirian. Aku pikir dia sanggup sehidup semati, tapi kenyataannya bertolak belakang." Benaya mengingat beragam momen pahit setelah berpisah, hal berat yang merantai kaki-kakinya hingga ia memberanikan diri datang ke tempat ini dan menemui perempuan nan menjadi pemilik hati Denial.

"Aku pikir ngelakuin banyak hal di Korea tanpa Denial bisa buat segalanya berubah, aku kira gampang ngelupain laki-laki itu, ternyata semuanya salah. Nggak ada yang berubah sama sekali, perasaan aku masih utuh buat Denial sampai sekarang, aku minta maaf, Karenina. Aku masih mencintai Denial dan berharap dia kembali sama aku. Dia belum menikah kan sama kamu? Jadi, aku masih layak usaha kan?" Benaya begitu yakin atas keinginannya, ia teguh pendirian, mungkin karena sebelumnya hubungan bersama Denial sudah terjalin bertahun-tahun, jadi tingkat kepercayaan diri Benaya untuk memiliki laki-laki itu cukup tinggi. Sementara hubungan Karenina serta mantan kekasihnya baru berlangsung beberapa bulan saja, anggap tiang mereka rapuh dan tak sekuat saat bersama Benaya.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang