Angkasa mengabu
Kelamku takkan palsu
Sesak napas pun membelenggu
Kamu, meremuk pelukku.
(PHOSPHENES, aprilwriters)
***
"Aku minta maaf, aku sama dia ... aku sama dia mau tunangan, Karen. Aku minta maaf karena enggak kasih tahu kamu lebih dulu, aku—"
"Pengkhianat nggak pernah pantas dimaafkan, semoga sabar ini selalu dilapangkan."
Dunia begitu picik saat mempermainkan hati seseorang dengan mudahnya tanpa pandang bulu meski ia sudah kumpulkan banyak luka sepanjang hidupnya, dunia seolah segaja menambah setiap jengkal rasa sedih yang Karenina miliki agar lebih bertumpuk dan menyiksa. Dunia sukses melakukannya!
Awan sengaja mengabu, desau angin menari di antara kelamnya nuansa sendu siang itu, meliuk mengitari sosok yang bersimpuh menunduk di depan makam sang ibu.
Bahunya bergetar, bahasa tubuh yang menyiratkan sebuah tangisan meski ia berharap hanya dirinyalah dan Tuhan yang tahu sekarang, tapi laki-laki yang bergeming di dekat pintu masuk pemakaman jelas memahami sikap perempuan yang kini ekspresikan wajah melankolisnya tanpa berharap Denial akan tahu.
Sorot mata Denial meredup bersamaan tangan terkepal amati gerak-gerik perempuan yang sejak lima belas menit belakangan belum juga beranjak dari posisinya, akan sebanyak apa air hujan yang Karenina tumpahkan di depan makam Liana siang ini.
Lalu, kenapa Denial tak berhak tahu?
Tak ada yang senang melihat tangisan orang lain—kecuali jika ia adalah orang yang sengaja mengharapkannya menangis di depan mata seraya terkekeh ala orang gila, dan Denial tak masuk dalam koloni itu. Ia masih waras, tapi kakinya seolah tak bisa diajak berkoalisi menghampiri Karenina saat ini, ia masih membeku tanpa bisa menghentikan waktu.
Terkadang dunia terlalu banyak bercanda, mempermainkan siapa-siapa tanpa peduli sakit nantinya. Dunia terlalu asyik tertawa di atas derai air mata, terlalu bangga membuat euforia lara dalam benak siapa-siapa meletup tiada tara. Terlalu masa bodo pada mereka yang ingin hilang setelahnya.
"Karen minta maaf, ma. Karen mulai capek, nggak sanggup lagi," rintih suara parau itu di sela tangisnya, tangan kiri mengusapi batu nisan, sedangkan sisanya mencengkram kuat lutut tertekuk miliknya. "Karenina lebih suka kalau kita tukar posisi sekarang, biar tahu siapa yang bakal lebih nyaman di sana? Kalau orang meninggal jelas nggak akan ngerasain sakit hati berkepanjangan, kan, ma?"
Denial memejam seraya hela napas panjang, sepertinya ia juga mulai sesak meski tak merasakan sakit yang menguliti tiap centi tubuh Karenina, tapi melihat sikap itu sekarang seolah membuatnya ikut tersiksa.
Denial masih memejam rasakan pertukaran napasnya dengan udara sekitar, angin lembut membuai bersamaan jatuhnya dedaunan serta kamboja putih yang tumbuh di sudut-sudut tempat itu.
Elegi begitu terasa meski bukan pertama kali bagi Karenina, ia sudah berkali-kali hadir ke tempat yang sama sekadar mengutarakan rasa lelah meski tak kunjung berhenti, bumi masih berotasi, jadi kisah Karenina juga turut mengitari.
Kelopak mata Denial terbuka, ia tatap sekali lagi perempuan yang masih keukeuh dengan posisinya sebelum tubuh itu mengubah arah putuskan hampiri motor yang terparkir di sisi jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
RomanceNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...
