KALI KEDUA.

10.5K 964 43
                                    


Langit itu angkuh
Bumi tidak lagi ramah
Untuk manusia lemah
Terlebih pada mereka yang hilang arah.

(Schatje, aprilwriters)

***

Denial bergegas turun dari motornya, melepas helm dan letakan pelindung kepala itu di permukaan jok sebelum bergerak cepat memasuki bar, mendapat chat dari Yuda lima belas menit lalu membuatnya tergopoh-gopoh untuk segera datang meski sebenarnya sedang berdua dengan Benaya, tapi untungnya Benaya percaya dengan alasan yang Denial bagi. Alhasil, kali ini ia bisa lolos menemui Karenina, pikirannya makin membuncah saja.

Napas Denial putus-putus, kini langkahnya terhenti di dekat posisi Karenina yang sandarkan kepala di atas kedua tangan terlipat dengan posisi miring ke kiri, tangan kiri perempuan itu juga menyentuh gelas sloki yang berisi sedikit bir, ada sekitar tiga botol kosong di sana, sudah cukup membuat syaraf motorik Karenina melemah, tapi ia belum ingin berhenti.

Apa dia lagi sakit hati sampai kayak gini lagi. Denial masih teringat jelas pertemuan pertama mereka di bar yang sama, dalam kejadian yang sama, hanya saja kali ini kisah mereka sudah berbeda. Denial tak menemukan sosok asing yang saat itu juga duduk seraya nikmati alkoholnya, yang kini ia hadapi adalah sosok perempuan pemikat paling hebat.

Denial mendekat, ia putuskan duduk di sisi kiri, menarik gelas sloki Karenina, tapi pemiliknya angkat kepala—menatap Denial dalam kebingungan, mata sayu dengan eskpresi sendu.

"Kamu di sini." Suara Karenina terdengar lirih, ia rebut saja gelas slokinya tadi, meneguk isinya hingga habis. "Mending temani saya minum, nanti saya yang bayar." Sungguh, perempuan itu seperti tak mengenali diri sediri lagi, menjadi berbeda dalam kendali alkohol.

"Nggak usah, mending kita pulang," ujar Denial.

Karenina menggeleng pelan, ia sandarkan lagi kepala dengan posisi semula, beberapa surai menutupi bagian wajahnya—hingga tangan Denial terulur menepikan rambut dari wajah perempuan itu.

"Kamu tahu, Denial." Karenina angkat lagi kepalanya, tangan kiri menunjuk langit-langit bar, membuat Denial kebingungan. "Langit itu angkuh, dia bajingan." Ia terkekeh setelahnya, mulai gila.

Denial menarik napas, pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan, tangan laki-laki itu loloskan jaket yang ia kenakan saat bagian paha Karenina terekspos jelas, terutama karena hanya kenakan rok lipit selutut, pasti banyak pasang mata jahat yang melihat tadi.

"Saya capek jadi orang baik." Karenina terkekeh lagi, tangannya meremas gelas sloki. "Boleh nggak sih menukar jalan hidup sama orang lain, boleh nggak, sih." Setiap perkataannya mulai membuat terkaan Denial semakin banyak, laki-laki itu memilih beranjak sebelum sentuh kedua lengan Karenina dari belakang, mengajaknya berdiri.

"Ayo, pulang. Udah malam, nanti bokap lo nyariin," ujar Denial, tapi Karenina enggan bergerak dari posisinya, ia masih tetap ingin di sana seraya berharap kesedihannya lekas sirna. "Karenina, di sini bukan tempat lo. Ayo kita pulang." Denial pun masih sibuk membujuk, ia benar-benar paksa agar perempuan itu berdiri.

"Besok. Di rumah banyak teror. Dasar bangsat." Kekehan hambar itu muncul lagi, tapi kalimat terakhir membuat Denial mengernyit, kenapa pertanyaan di kepalanya semakin banyak?

"Sekarang." Denial enggan mengalah, jika Karenina tak mau melangkah pun ia gunakan cara lain, menggendongnya ala bridal style di depan banyak orang. Persetan, tak ada yang mengenalinya selain Yuda yang masih duduk di posisi awal, memperhatikan interaksi mereka sebelum beranjak keluar setelah melihat Denial membawa Karenina keluar.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang