SEPERCIK KISAH.

18.2K 1.4K 54
                                        


Secangkir kopi serta surat kabar edisi terbaru tengah temani Minggu pagi Zian yang masih menyukai berita dalam bentuk kertas ketimbang berita online yang bisa dia lihat dari ponselnya. Zian memang memiliki sisi kuno yang masih kental, pria kelahiran Yogyakarta itu bahkan tak melupakan bahasa jawa yang cukup khas dari kota kelahirannya meski ia sendiri jarang mengatakan—sebab Anne kurang mengerti, Anne sendiri adalah wanita berdarah tionghoa yang telah dipersunting Zian sejak tiga puluh tahun lalu, rumah tangga mereka sanggup kokoh berdiri hingga hari ini dan dikaruniai tiga orang anak.

Pertama, Elang Nuraga yang telah miliki keluarga kecil sendiri, Elang tinggal terpisah dari orangtuanya. Kedua, si bengal Denial Nuraga. Ketiga, Elita Pranata yang masih berstatus pelajar SMA. Elita sendiri mengikuti marga sang ibu sebagai 'Pranata', dan bukan seperti sang ayah yang notabene 'Nuraga'.

Zian bahkan gunakan kacamata baca hingga tampak seperti kakek-kakek muda, disebut kakek pun seperti kurang pantas, cucu saja baru satu. Pria itu duduk di sofa ruang tamu seraya fokus pada kabar karhutla yang tengah menimpa Indonesia, apa pun yang ada di surat kabar akan Zian baca hingga habis seraya sesap kopi hitamnya.

Tampak Denial yang kini menuruni anak tangga seraya usap rambut basahnya dengan handuk kecil, kaus polo dan celana pendek hitam membalut tubuh beraroma citrus itu.

"Mama sama Elita mana?" tanya Denial yang kini duduk di sebelah ayahnya.

"Car Free Day," sahut Zian tanpa alihkan fokus dari koran.

"Masa udah jam sembilan enggak pulang-pulang."

"Nggak tahulah, urusan perempuan. Tadi kenapa nggak ikut biar tahu kegiatan mereka."

Denial angkat sebelah alisnya seraya beri ekspresi cengo. "Yang benar aja, mending tidur lagi, paling juga emak-emak militan yang bahas tas hermes."

Zian lirik sang putra. "Kok tahu? Pasti kamu pernah bahas gituan ya?"

"Malah tambah ngelantur, nebak aja nebak. Perempuan paling yang dibahas kayak gitu, kan? Nyesel udah tanya." Denial berdecak dan beranjak.

"Mau ke mana? Enggak ngopi dulu?"

Denial menoleh. "Segelas berdua? Biar romantis." Kekehan geli pun terdengar.

"Pulang dari Korea malah tambah aneh kamu, Den. Sini duduk lagi, papa mau tanya."

"Oke, Pak Bos!" Denial duduk di tempat tadi, terlihat sang ayah lepas kacamata serta letakan koran yang kini dilipatnya di atas meja. Jika tak memakai kacamata baca, wajah Zian sepuluh tahun lebih muda dari usianya, pantas saja jika ikut Car Free Day bersama Anne masih saja jadi perbincangan hot emak-emak militan yang sibuk banding-bandingkan popularitas suami mereka.

Zian kembali seruput kopi hitamnya yang tak lagi panas, uapnya telah menyingkir pergi. "Kenapa semalam pergi dari acara? Rega cari-cari kamu."

"Aku ...." Denial tatap ayahnya seraya tersenyum penuh arti, ia jadi teringat malam bersama Karenina yang menangis, bagaimana perempuan itu lantas diam usai dua kali ciuman yang Denial berikan.

"Apa?"

"Aku pergi sama Karenina."

"Kamu suka sama Karenina?"

Denial mengernyit. "Kenapa langsung simpulin kayak gitu, emang harus banget suka baru bisa jalan bareng. Enggak, kan?"

"Papa kan cuma tanya, kenapa mikirnya lebih jauh lagi. Jadi, lebih penting temenin Karenina daripada kontribusi di acara Rega, ya?"

"Papa mau marah? Ya silakan." Denial memutar bola matanya seraya sandarkan tubuh dan tumpukan kaki kanan di atas paha kirinya, ia tampak santai sekali.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang