NANTI AKAN BERBEDA.

10.6K 917 65
                                    


Jika bola matamu seumpama kerlip bintang
Cukupkan aku saja yang menatapnya
Biar kusimpan dalam setumpuk kenang
Cukupkan lekang yang tak lagi meradang.

(Schatje, aprilwriters)

***

Perlahan, sepasang kelopak matanya terbuka, mengerjap beberapa kali sampai ia benar-benar bisa melihat suasana sekitar, tapi tak ada pergerakan tubuh untuk beranjak dari ranjang besarnya. Karenina justru menarik selimut lebih rapat, ia tetap diam di sana seraya melamunkan sesuatu—saat bola matanya mengarah pada kotak musik pemberian seseorang yang masih tergeletak di permukaan laci sisi ranjang.

Masih tersisa rasa sakit, tentu saja. Melupakan memang butuh waktu, tak instan seperti saat seseorang membenturkan kepalanya pada tembok sampai gegar otak dan amnesia. Maaf, Karenina masih miliki sedikit kewarasan, ia sadar kalau cinta bukan segalanya, berpikir kalau lebih baik dicintai daripada mencintai, dua hal itu nilainya berbeda.

Bola matanya masih mengarah pada kotak musik, pikirannya masih dipenuhi akan satu nama itu, ia tak ingin memusingkan kenapa semalam sampai mabuk atau bagaimana caranya ia terbangun di ranjang kamarnya seperti sekarang. Itu urusan laki-laki yang sudah mengantarnya pulang dengan selamat tanpa cacat suatu apa pun—kecuali relungnya mungkin, tapi Denial tak tahu alasan pastinya.

Tangan Karenina keluar dari selimut, salah satunya meraba permukaan laci sekadar raih ponselnya di sana, ia mencari nomor seseorang, tapi baru ingat kalau tak miliki nomor Denial.

Elita, kakak minta nomor Denial.

Lima menit berikutnya chat balasan dari Elita langsung masuk, ia dapatkan nomor Denial. Karenina tatap langit-langit kamar seraya terpejam sejenak, ia meyakinkan diri untuk menghubungi laki-laki itu pertama kali setelah semua yang terjadi.

Dering panggilan akhirnya terdengar, Karenina menanti dengan ketar-ketir, saat suara seseorang terdengar—ia bernapas lega.

"Hallo, ini Karenina." Suara laki-laki yang sempat didengarnya tadi tiba-tiba lenyap, entah terkejut atau bingung tanggapi nomor seseorang yang tak pernah dibayangkan bisa masuk ke ponselnya, seperti ajaib saja. "Denial, kamu masih di sana?"

"Iya, di sini."

"Eum, maaf pagi-pagi mengganggu. Saya cuma mau ucapin terima kasih karena udah antar saya pulang ke rumah, maaf merepotkan kamu."

"Nggak apa-apa, gimana keadaannya?"

"Cukup baik, sekali lagi terima kasih, maaf udah ganggu." Karenina akhiri panggilannya, ia letakan ponsel begitu saja seraya memejamkan mata, terima kasih sepertinya sudah cukup, mengingat apa pun yang terjadi kemarin sama sekali tak membuatnya kepikiran, biar saja mengalir seadanya.

***

Seseorang tengah menatap layar ponselnya, ia nyaris tak percaya pagi-pagi dapatkan panggilan dari nomor seorang perempuan yang baginya seakan mustahil, Denial menggeleng sebelum beranjak dari ranjang. Jika bukan karena panggilan itu—mungkin ia takkan bangun lebih pagi kali ini, kelopak matanya sudah tak ingin menutup lagi, ia beranjak kenakan sepasang sandal sebelum bergerak hampiri kamar mandi.

Wajah kuarsa itu kini dibasuh air mengalir dari kran wastafel, tangannya membuka kabinet kecil berisi pasta gigi dan keperluan mandi lainnya, ia menggosok gigi seraya tatap cermin, tiba-tiba segala bayang tentang Karenina malam tadi muncul bak layar proyektor pada cermin, membuat Denial tak segaja menjatuhkan sikat giginya. Ia langsung berkumur dan membungkuk raih sikat gigi di lantai, mencucinya di wastafel seraya berdecak.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang