Aku bukan gadis kecil di ujung jalan, menunggu ibu datang. Aku hanya wanita pemilik perasaan, yang hari ini kau buat malang.Schatje, aprilwriters.
***
Seharusnya masa jam makan siang seperti ini Denial mendatangi lapak Karenina, duduk bersama dan menikmati makanan yang dibuat wanita itu sepenuh hati. Bukan malah mendatangi sebuah jembatan penyebrangan setelah seseorang mengirimkan sebuah chat yang benar-benar membuat Denial ingin langsung meledak di depannya.
Denial, ini Benaya.
Kamu bisa datang ke jembatan penyebrangan daerah M kan, kalo nggak aku lompat aja.Berkali-kali cowok itu berdecak dan mengumpat selama perjalanan, ia dikuasai emosi yang meradang, padahal baru merasa tenang semalam hingga pagi tadi, lalu siangnya diguncang masalah lagi.
Motor telah menepi di depan sebuah warkop, ia menitipkan kendaraannya pada pemilik warung sebelum menapaki puluhan anak tangga menuju jembatan penyebrangan. Ada beberapa pejalan kaki hilir mudik di sana, tapi bisa dihitung menggunakan jari, sementara seseorang memang menunggunya di balik railing.
"Ada apa? Kenapa lagi?" Denial mencecar. "Mau apa sih?" Ia tak bisa bersikap tenang jika urusannya sudah ancam-ancaman menyangkut nyawa. "Nggak bisa diem?"
"Aku tahu kamu masih peduli, makanya kamu datang." Wanita itu tersenyum. "Jadi, gimana keputusannya, kamu mau balik ke aku kan, Den?"
"Balik apa sih?"
"Pacaran lagi sama aku."
Denial menyugar rambutnya. "Apa omongan kemarin kurang jelas? Itu nggak mungkin, Benaya tolong dong—"
"Kamu yang harusnya tolongin aku, kamu semestinya bantuin aku. Kenapa malah kayak gini sih, Den."
"Benaya, aku punya Karenina, dan udah lebih dari cukup."
Benaya menatap nanar manik cowok itu, suaranya bergetar. "Aku mau mati cepat atau lambat, bulimia yang aku derita karena kamu bisa cabut nyawa aku kapan aja, Denial. Aku mau mati, tapi harus bahagia, aku nggak mau mati karena sakit hati dan menderita." Ia menyentuh pergelangan tangan Denial, mengguncangnya penuh permohonan. "Denial, please. Lihat aku lagi."
"Benaya—"
"Ya udah kalau nggak mau, aku lompat aja dari sini ya." Ia menyeringai, melepas tangan Denial dan berusaha menaiki railing. "Aku mau mati aja kalau kamu nggak mau balikan!"
"Benaya, lo gila!" Denial tak bisa bersikap sopan lagi, ia menarik mundur wanita itu hingga mereka terjerembab ke selasar penuh debu.
"Nggak usah sok peduli, Denial! Kamu nggak mau kan! Aku mati aja." Benaya beranjak lagi, tapi Denial berhasil menarik tangan wanita itu agar tidak ke mana-mana. "Sakit." Ia merintih karena dicengkram cukup kuat, perpaduan antara menahan serta amarah dari mantan kekasihnya.
Denial berdiri, ia tetap memegang tangan Benaya, wajah cowok itu sudah memerah oleh emosi. "Lo nggak bisa memaksakan kehendak lo."
"Aku butuh kamu, Denial! Aku butuh kamu!" Bentakan wanita itu membuat beberapa pejalan kaki yang baru tiba di ujung jembatan penyebrangan ikut memperhatikan mereka, Denial sontak menarik Benaya turun dari sana. "Mungkin aku nggak mati di sini, tapi aku masih bisa mati di lain tempat dan kamu nggak akan bisa cegah aku, Denial. Kamu nggak akan bisa!" Kewarasan Benaya benar-benar hilang, ia tetap mengoceh saat menuruni anak tangga. "Aku bisa lari ke tengah jalan biar ditabrak mobil sekarang!"
Denial terpaksa mengangkatnya di bahu agar Benaya berhenti memberontak, demi apa pun ia menahan malu setengah mati atas perbuatan mantan kekasihnya. Bagaimana mungkin mimpi buruk seperti ini menjadi kenyataan. Denial baru menurunkan Benaya di dekat warung kopi, di sebelah motornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
RomanceNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...