INTUISI RASA.

10.8K 1K 81
                                    


Seringkali nurani bergumam lirih
Teriris pedih
Kadangkala jiwa meronta jua
Perihal intuisi rasa.

(Schatje, aprilwriters)

***


"ELITA, KARENINA. KALIAN SALING KENAL?" Suara itu membuat keduanya refleks menoleh dapati Benaya yang berdiri di sisi Denial, tak jauh dari posisi mereka duduk.

Hanya bola mata serta desah napas saat ketiga orang selain Elita itu tertegun bersama pemikiran masing-masing. Akhir-akhir ini nabastala seringkali memberikan kejutan, salah satunya pertemuan tak terduga, dan dua di antaranya sama sekali tak ingin menguak rahasia besar mereka.

Tiba-tiba saja Elita terkekeh geli tanggapi keadaan yang baginya begitu aneh. "Ya ampun, ya jelaslah kalau aku kenal Kak Nina, kan aku dekat sama dia, terus Kak Nina ini mantan sekretarisnya papa di kantor."

Fakta yang baru Benaya dengar membuat benaknya begitu tertohok, ia makin tertegun tatap Karenina dengan eskpresi yang sulit terbaca. "Berapa lama?"

"Dua tahunan kalau nggak salah? Kok pacarnya Bang Den tahu Kak Nina, sih?" Kini giliran Elita yang bertanya.

Pintu ruang rawat Zian terbuka dan tampilkan sosok Elang di sana, ia tatap wajah itu satu per satu sebelum pasang senyum saat tanggapi kehadiran Karenina. "Karen ada di sini?"

Perempuan itu beranjak seraya peluk dua dusnya, ia tersenyum tipis. "Iya, Mas. Kemarin saya nggak bawa apa-apa, sekarang mumpung banyak waktu sempat-sempatin buat."

"Oh gitu, langsung aja masuk."

"Ayo, Kak. Masuk." Elita langsung merangkul pinggang Karenina, mengajaknya masuk tanpa memedulikan Denial serta Benaya.

Suasana di luar ruangan terlihat lebih mencekam saat sepasang manusia itu sama-sama bergeming tenggelam ke dasar pemikiran mereka. Salah satunya hanya tak ingin mengungkapkan apa-apa, lalu lainnya sibuk berkecamuk dengan segala pertanyaan yang melingkari kepala meski ia hanya butuh sebuah penjelasan atas segala pertanyaannya.

Denial yang berdiri di belakang Benaya tampak mengulurkan tangan raih milik kekasihnya, tapi baru sentuhan kulit terasa—langsung membuat Benaya menepisnya, amarah terbaca dengan jelas.

"Ben—"

"Aku mau pulang." Benaya melenggang begitu saja, mumpung akal sehat Denial masih bertahta cepat-cepat ia mengekori Benaya, merangkum tangannya erat-erat. "Kamu marah sama aku?"

"Coba pikir sendiri, yang kayak gini aja aku nggak tahu, Den!" Ia menepis kasar tangan Denial, memasuki lift seraya rasakan panas di matanya, perih tak lagi mengakari hati, tapi mulai menyentuh tiap inci wajah.

"Aku bisa jelasin, kamu nggak perlu marah gini."

"Kenapa aku nggak perlu marah? Itu hak setiap orang, Denial!" Untung saja hanya mereka berdua di dalam lift, kini terhenti di lantai dasar—membawa Benaya melangkah lebih cepat keluar dari lobi, tergesa lewati area parkir hingga tiba di tepi jalan.

"Ben! Dengerin aku sebentar." Denial masih keukeuh mengejar, ia raih tangan-tangan kekasihnya. "Aku minta maaf, dengerin dulu."

"NGGAK PERLU!" Benaya benar-benar kecewa, sekali lagi ia tepis kasar tangan itu seraya luruhkan buliran hangat dari pelupuk matanya, sekalipun angkasa masih berpendar terang, tapi mendung di wajah Benaya tak bisa disembunyikan. "Aku tanya sama kamu, Denial. Kita berapa lama pacaran? Kita di Korea berapa tahun, Den? Terus apa aja yang pernah kita lakukan selama itu, tapi satu janji aja kamu nggak bisa tepatin, kan? Kamu nggak pernah jujur sama keluarga kamu soal hubungan kita. Mau kamu gimana!"

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang