TELAH USAI.

1.1K 119 5
                                    


Kau hanyalah kaktus, dan aku sebatas kupu-kupu yang mengecap pahitmu.

Schatje, aprilwriters.

***

Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka lebar tanpa diketuk lebih dulu, sementara Denial hanya melirik setelah tahu pelaku yang bertingkah cukup brutal itu, ia lebih memusatkan seluruh pikirannya pada layar laptop. Persetan dengan Rega yang kemudian menggebrak meja. Denial hanya berdecak, entah kesurupan apa temannya itu.

"Lo selingkuh, Den?"

Denial tersenyum kecil. "Ngaco lo kalau ngomong."

"Terus, kenapa ada cewek nyariin lo di lobi?"

Kening Denial berkerut, menatap Rega tepat di manik hitamnya. "Siapa?"

"Berarti lo nggak tahu kalau di bawah orang-orang pada gosipin lo."

"Bukannya tiap hari udah jadi bahan gibah, spesialnya di mana?" Denial kembali fokus pada laptop. "Lo kalau mau gosip jangan sama gue lah, sama si OB tuh, si Wawan, dia laki demen gosip."

Rega meraup wajah. "Gue serius, Den. Itu cewek nyariin lo, namanya kalau nggak salah tadi itu ... Bena, Bena, Benaya. Nah, Benaya!"

"Ulangi."

"BENAYA, DEN!"

Tangan kanan Denial yang sempat menggerakan mouse berhenti, ia menatap Rega lagi, masih ragu. "Mustahil."

"Apa perlu gue turun ke bawah, terus gue ajak dia selfie buat kasih buktinya. Lo kenal kan sama dia?"

Kenapa Benaya ada di Jakarta.

Denial tak menyahut, ia menutup layar laptop dan beranjak keluar ruang kerjanya tanpa berbasa-basi lagi pada Rega. Ia menyusuri lorong dan masuk ke dalam lift, keluar di lantai utama, hampir netra sebagian orang di lobi tertuju padanya disertai bisik-bisik entah apa.

Rega benar, Benaya berdiri di lobi, tersenyum lebar saat melihat Denial menghampirinya, tapi laki-laki itu tampak tegang menghadapi situasi tak terduga seperti ini. Ia bahkan tak pernah berpikir tentang Benaya, untuk apa wanita ini tiba-tiba muncul di depan mata, bahkan manusia satu kantor bisa menyaksikannya.

"Denial—"

"Ikut aku." Denial keluar, berjalan ke sisi timur dan terhenti di dekat sebuah mobil, Benaya mengikutinya, sekarang mereka berhadapan, paling tidak di sini pembicaraan mereka tak perlu didengar orang lain—yang mungkin semakin membuat bibir-bibir mereka menggila untuk bergosip. "Ngapain ke sini." Ekspresi Denial sama sekali tak menunjukan rasa senang.

"Karenina yang minta aku buat temuin kamu, makanya aku ke sini." Sejak turun dari pesawat hingga tiga hari berada di Jakarta, Benaya memang tak menghubungi Denial, tujuan utama adalah menemui Karenina lebih dulu, lantas menerima peluang besar saat Karenina sengaja membuka jalan lebar seluas-luasnya jika masih berupaya.

"Karenina? Mustahil."

"Kamu nggak percaya? Kamu bisa telepon dia sekarang, aku enggak mengada-ngada kok."

"Terus, tujuannya nyari aku apa?"

"Kita perlu bicara."

"Penting?"

Benaya mengangguk. "Penting."

"Tunggu aku pulang kerja, kamu bisa tunggu di kafe seberang kantor ini kalau mau. Sekarang aku sibuk."

"Okey."

Melihat kemunculan Benaya lagi setelah berbulan-bulan mereka berpisah saja cukup membuat sensor motorik Denial menegang, sejak membuat janji bertemu ia tak bisa merasa tenang, pikirnya terus bertanya-tanya alasan—mengapa Karenina harus meminta Benaya menghampirinya, tapi ketimbang menghubungi Karenina untuk mendapat jawaban, lebih baik mendengar langsung dari narasumbernya.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang