Bisa saja kau berlari melewati bianglala
Terseok perih diusik rumput liar
Bisa saja kau menjauh dari luka sebenarnya
Tapi setelah itu, kau rasa sakit mengakar.
(Schatje, aprilwriters)
***
Pagi, sekitar pukul sepuluh saat jam kerja baru berlangsung sejam yang lalu orang-orang dikagetkan dengan tragedi pingsannya atasan mereka di balik meja kerja, Zian tiba-tiba pingsan usai rasakan pusing berkunang-kunang hingga akhirnya tubuh lelah itu tak sadarkan diri di lantai. Ada Clara—sekretaris yang baru dua hari bekerja memergokinya tepat waktu. Kini tubuh tak berdaya Zian dipapah Denial bersama seorang karyawan lain menuju mobil pria itu di parkiran.
"Biar saya aja yang nyetir," tutur Denial sebelum duduk di balik kemudi, hari ini tak ada supir pribadi yang biasa antar-jemput Zian. Mukidi namanya, pria itu tengah pulang kampung karena anak paling bontot akan melangsungkan khitanan hari esok, jadilah pagi ini Zian membawa mobilnya sendiri saat Denial lebih senang mengendarai motornya.
Zian serta karyawan yang bantu Denial memapah tadi duduk di kursi penumpang, Denial sendiri rogoh ponsel dari saku celana, menghubungi Anne.
"Papa pingsan, aku bakal bawa dia ke rumah sakit, Mama cepat datang, ya," ucap Denial sebelum akhiri panggilan, perasaan mereka pasti akan sama kali ini, sama-sama takut dan cemas, pasalnya belum pernah terjadi hal semacam itu menimpa Zian selama bekerja.
***
Begitu sampai di rumah sakit, tubuh Zian langsung dibaringkan pada ranjang troli yang kini didorong oleh beberapa suster. Denial melangkah lemas di belakangnya saat sang ayah akhirnya masuk ruang IGD, laki-laki itu meraup wajah sebelum duduk pada kursi panjang yang berada di depan ruang IGD.
"Mas Denial, saya langsung balik ke kantor, ya," izin karyawan yang sempat membantu Denial, ia berdiri di depannya.
"Oh, ya silakan. Makasih, ya." Denial menjawab sebisanya, ia sandarkan punggung saat karyawan tadi melenggang pergi, ditatapnya pintu tertutup ruang IGD dengan wajah lelah yang tak bisa disamarkan. Ia hanya bisa merapal doa agar sang ayah baik-baik saja setelahnya.
Tak perlu menunggu lebih lama saat Anne, Elang serta Renata—istirnya—telah tiba di rumah sakit sesuai instruksi Denial, hanya Elita yang belum hadir karena sengaja tak ada yang memberinya kabar, takut jika mengganggu jam belajarnya di sekolah.
Anne mempercepat langkah di koridor rumah sakit, ia makin cemas begitu melihat Denial duduk membungkuk seraya menyangga keningnya di depan IGD.
"Denial," panggil Anne dengan suara yang agak meninggi, ia lantas merengkuh Denial begitu anak laki-lakinya beranjak. "Gimana keadaan papa kamu?" Mata Anne tampak berkaca, memerah begitu sendu, Denial bahkan baru pertama kali dapati ekspresi sesedih itu dari sang ibu.
"Dokternya belum keluar, Ma."
"Kok bisa papa pingsan?" Kali ini suara Elang yang menyela, kedua alisnya menyatu perlihatkan kekesalan di wajah yang tak bisa lagi dia pendam. "Bukannya papa nggak pernah kayak gini? Ada apa emang?"
"Mas, jangan emosi kayak gitu." Renata mengusapi punggung sang suami, mencoba redam kekesalan yang kian membuncah. Tadi, sepanjang perjalanan menuju rumah sakit pun Elang terus saja mengoceh perihal kesalahan Denial yang membuat Karenina sampai undur diri, Elang tahu semua setelah Zian sendiri yang mengatakannya, belum lagi kesulitan sang ayah saat mencari sekretaris baru. Membuatnya kerja lembur sampai berhari-hari karena tak mendapatkan satu pun yang cocok, Zian masih mengharapkan Karenina akan kembali. Lalu, sampailah pada tragedi pingsannya Zian pagi ini, cukup menjadi alasan jika Elang ingin memukul wajah adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
RomanceNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...
