SEDIH BOLEH, SINTING JANGAN.

1.4K 120 5
                                    


Acapkali raga bersenyawamu meronta, biarkan saja. Mana tahu melawan adalah cara terbaik menjadi tetap baik-baik saja.

Schatje, aprilwriters.

***

"Oma! Opa!" Suara milik gadis cilik menggema dari halaman hingga memasuki rumah, ia berlari sesemangat mungkin saat mencari dua manusia yang baru disebutkannya itu. Rambut panjang bergelombang Ciara bergerak bebas mengikuti ritme kaki yang enggan berhenti sebelum menemukan keinginannya.

"Hati-hati, Nak. Nanti jatuh." Renata mewanti-wanti putri tunggalnya tersebut, ia baru saja memasuki rumah bersama Elang saat anak mereka entah lenyap ke mana, tapi kemunculan tiga manusia dari sebuah kamar di dekat tangga membuat pasangan suami istri tersebut mengulas senyum. "Udah ketemu oma sama opanya, ya?"

"Udah dong, mereka enggak pinter sembunyi dari aku," sahut Ciara percaya diri, kedua tangan mungilnya penuh oleh tangan si nenek serta kakek yang ia gandeng.

"Apa kabar, Ma, Pa." Elang lebih dulu menyalami Zian serta Anne sebelum diikuti Renata.

"Kabar baik." Zian menyahut, ia berjongkok di depan Ciara. "Makin baik lagi karena ketemu sama cucu opa yang paling cantik."

"Iya dong, aku paling cantik." Si kecil semakin riang, membuat tangan Zian mengusap kepalanya, jika Ciara sudah muncul di depan mata—mana mungkin orang-orang tak merasa bahagia.

"Iya, iya. Opa percaya kok sama Ciara."

"Oh ya, kalian dari mana? Udah makan?" Anne angkat bicara.

"Kita dari rumah aja kok, Ma. Kebetulan ke sini karena mau minta makan." Pernyataan Elang membuat Renata memukul pelan lengan pria itu, ia cengengesan tanpa dosa. "Pengin main aja, si Ciara ngoceh terus mau ketemu opa sama omanya."

"Eh, tapi mama serius lho nawarin kalian makan. Kebetulan ini baru mau mulai, udah lama juga kan enggak dinner bareng."

"Boleh, boleh."

"Kalian ke ruang makan dulu, mama panggilin Elita sama Denial ya." Anne menyingkir menghampiri anak tangga, pasti Elita menutup rapat pintu kamarnya sampai tak mendengar jika si keponakan kecil yang menggemaskan itu muncul di rumah.

Seluruh pintu kamar di lantai dua tertutup rapat, Anne lebih dulu mengetuk pintu kamar Denial. "Den, makan dulu, kamu dari pulang kerja kan enggak makan. Itu ada Ciara juga di sini." Tak hanya sekali dua kali Anne mengetuk, tapi Denial tak kunjung keluar, sementara pintu kamar sebelah terbuka sendiri tanpa diketuk. Elita muncul seraya menatap layar ponsel, rambutnya acak-acakan tatkala tangan menggaruk dengan nyaman. "El, abang kamu ada di kamar kan?"

"Eh." Hampir saja Elita menjatuhkan ponsel saat terkejut melihat kemunculan Anne di sana. "Dari kapan Mama di situ?"

"Dari tadi, Denial ada di kamar kan?"

"Ada kok, motornya juga di depan kan."

"Mama ketuk pintunya enggak dibuka-buka."

Elita berdecak. "Bukannya udah biasa ya dia bertingkah kayak gitu, udahlah biarin aja, Ma. Lagi depresi mungkin."

"Hush! Kok gitu ngomongin abangnya." Anne menegur.

"Lah kan bener, semedi terus di kamar kalau udah di rumah, inget aja dia nggak pernah sarapan kan. Biarin aja, kalau laper pasti turun, percuma mama ketuk pintu sampai tangannya bengkak." Ia menggandeng Anne. "Mending turun sama aku."

"TANTE!!!" Suara nyaring Ciara kembali menggema, Elita tersentak melihat keponakannya muncul di rumah dan berdiri melambai di sisi anak tangga.

"Lho, ada bocah di sini." Elita refleks melepaskan Anne dan bergerak lebih cepat saat menuruni undakan tanpa takut terjatuh. "Kamu di sini? Kapan datangnya?" Ia duduk di anak tangga terbawah sembari menyentuh sepasang lengan Ciara.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang