Di persimpangan kita bertemu, lampu temaram jalan sebagai saksi bisu dari manusia-manusia dengan segala ragu.
Schatje, aprilwriters.
***
Setelah Nathan mengetuk pintu unit apartemen Jesslyn, wanita itu muncul, tersenyum tipis dan membuka pintu lebih lebar agar Nathan bisa masuk. Tanpa Nathan sadari, sorot mata Jesslyn sudah meredup sejak memperhatikan punggung laki-laki itu. Meski sudah mempersiapkan diri sejak berhari-hari lalu, bahkan meminta saran dari Karenina, ketegangan yang dialami Jesslyn masih saja hinggap, ini seperti menikmati turbulensi tiada henti dan menyiksa raga tanpa jeda.
Nathan sudah duduk di sofa, sementara kekasihnya masih mematung di dekat pintu, Jesslyn menitipkan tubuhnya di sana saat isi pikiran melayang ke langit, mencari-cari jawaban yang mungkin ia temui. Memutuskan satu hal besar yang kemungkinan bertentangan dengan pendapat orang lain memang bukan hal mudah, terlebih orang itu adalah calon masa depannya.
"Sayang." Nathan memanggil, berkedip karena Jesslyn masih melamun, pikirannya diajak terbang ke nirwana, tapi harus segera kembali menuju sang raga. "Sayang, Jesslyn?"
"Ah, apa?" Baguslah, kesadaran wanita itu lekas pulih, ia tersenyum kikuk dan menutup pintu sebelum menghampiri Nathan. "Kamu mau minum-"
"Aku bisa ambil sendiri kalau mau, mending kamu duduk di sini." Nathan menepuk permukaan sofa kosong di sisi kanan, ia menarik Jesslyn hingga duduk di sana. "Kamu ngelamunin apa? Sesuatu yang mau kamu omongin ke aku?"
Wanita itu mengangguk, ia menelan ludah, setiap detiknya seperti lima kali lebih cepat, Jesslyn benci mengakui segala hal yang menyakiti Nathan, tapi ini harus. "Nat."
"Iya?" Cowok itu tersenyum hangat, tangannya terulur mengusap lembut sisi wajah Jesslyn, membuat tubuh perempuannya menegang, ia takut jika sentuhan Nathan tak lagi untuknya, Jesslyn tak bisa membayangkan jika Nathan bersama perempuan lain. Ia bisa gila. "Gimana, Jess? Kayak penting banget pasti, kalau enggak kan kamu bisa ngomong di telepon. Ini nyuruh datang."
"Iya, memang penting." Suara Jesslyn terdengar lemah, bahkan sebelum mengatakan ini ia merasa lebih baik pingsan saja seumur hidup.
"Mau bahas apa?" Bagaimana mungkin Jesslyn kehilangan laki-laki lembut ini, Nathan tak boleh bersikap lembut pada wanita lain, cukup Jesslyn saja, hanya pada Jesslyn.
"Nat." Wanita itu berdeham, menunduk sesaat dan kembali menatap kekasihnya, keraguan tak selalu membuat seseorang mundur, pasti ada langkah untuk tetap maju. "Kamu nggak akan tinggalin aku kan?" Setiap hal dalam diri Jesslyn berbicara, entah mata, bibir, otak, hati serta bahasa tubuhnya. Ia menyentuh tangan Nathan yang masih mengusap pipi, merangkum erat dan takut melepaskan.
"Aku? Nggak akan."
"Apa pun keadaannya kan, Nat?"
"Iya, apa pun keadaannya."
"Kalau suatu hari aku nggak menarik lagi, kamu nggak akan ngelirik perempuan lain kan?" Ia mulai melantur, dan Nathan menanggapinya dengan mengecup kening. "Aku tanya, Nat."
"Nggak akan, Jess."
Wanitanya menelan ludah, ia beranjak dan melepas tangan Nathan. "Aku mau minum dulu." Ada jeda saat ia menghampiri pantry dan membuka kulkas, hanya benar-benar membuka tanpa menyentuh botol minum, sesungguhnya Jesslyn mengulur waktu untuk menghindar, tapi waktu tak selamanya berpihak pada manusia.
Gue mesti gimana, gue takut banget.
Tangan Jesslyn mencengkram pintu kulkas, ia tetap tertegun melamun di sana sampai Nathan beranjak tanpa Jesslyn sadari, laki-laki itu menutup pintu kulkas, membuat Jesslyn terkejut. "Nat, Nathan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
RomantizmNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...
