DIMENSI.

1.1K 123 13
                                    


Kita terpenjara di masing-masing ruang kedap suara, diammu meremukkan raga.

Schatje, aprilwriters.

***

"Ini tuh siang terakhir gue di Jakarta, nanti malem udah harus berangkat, jadi wajib kan ketemu sahabat gue dulu sebelum berangkat," ucap Jesslyn seraya mengangkat cangkir teh, ia berada di area food truck Karenina siang ini, rimbunnya daun pada pepohonan di sisi jalan membuat suasana benar-benar bersahabat, tak ada sinar panas menyerang dari baskara.

"Bareng Nathan?" Karenina baru duduk setelah mengusap permukaan meja lain, ia meletakan kain di pangkuan apronnya.

"Iya, dua malem lalu gue udah ketemu sama orangtuanya, bahas banyak hal. Ternyata klop satu sama lain, dan itu bikin gue have fun banget." Jesslyn tak bisa menyembunyikan rasa senangnya, lihat saja rona wajah wanita itu sudah seperti cherry blossom di musim semi.

"Syukurlah." Karenina tersenyum tipis. "Semoga sukses buat segala urusan kamu di sana nanti, Jess."

"Thank's selalu buat semua supportnya, Karen. Semenjak kita ketemu zaman kuliah, lo selalu jadi temen yang baik buat gue."

"Saya cuma bisa bantu doa kok, nggak lebih, apalagi posisinya jauh. Kamu beruntung bisa selalu bersama orang-orang yang kamu sayang." Ia menunduk sejenak, lalu menatap ke arah rimbunnya pohon. "Saya iri." Senyum getir menghias wajah, di setiap tarikan napas memang mudah dilakukan, tapi paku berkarat terus saja menancap, menyebarkan luka-luka baru yang tumbuh berkembang, ini mengerikan, Karenina tipikal yang pintar merawat luka—dalam artian ia terus membiarkannya makin meradang.

Ekspresi ceria Jesslyn lesap, ia menyentuh tangan Karenina di permukaan meja, mengusapnya menggunakan ibu jari. "Kasih tahu gue harus gimana."

Wanita berapron cokelat itu menggeleng. "Enggak, saya bukan lagi menuntut kamu kok. Malah jadi adu nasib begini, maaf ya, Jess."

"Sejujurnya gue juga cemas sama lo, gue pikir sengaja pamer bahagia gini bikin lo ngerasa lega, ternyata tetep aja kelihatan." Jesslyn mendengkus. "Emang ya si Denial sama Benaya itu stresnya kompak, santet aja nggak sih?"

"Jangan bertingkah aneh."

"Ya enggak, gue kan emosional orangnya." Ia meninggikan suara, menahan amuk dada, lalu kembali tenang. "Nathan cerita sama gue waktu lo datang ke kelab, bisa-bisanya Benaya itu muncul juga, udah kayak setan aja asal nongol."

"Udah, udah, jangan dibahas lagi. Kamu jangan emosional, selama saya masih bisa jalan ke depan itu—lebih baik, kan?" Ia terlalu positif thinking.

"Karen—"

"Kamu mau makan menu baru saya nggak? Saya buatin ya." Karenina langsung berdiri dan pergi tanpa ingin mengidahkan Jesslyn yang mungkin masih bersikukuh melanjutkan pembahasan mereka terkait Denial, begitulah cara Karenina mengakhiri obrolan mereka.

***

Malam, jam sembilan lewat ketika Karenina mengeluarkan beberapa kantung belanja setelah berkeliling supermarket—membeli bahan makanan untuk besok. Rasa lelahnya hilang setelah sempat beristirahat selama satu jam—siang tadi, lalu mengajak food truck 'mandi' di tempat pencucian mobil.

Ia terlihat kesusahan merogoh kunci rumah dari saku celana saat kedua tangannya dipenuhi kantung belanja hingga tak sengaja menjatuhkan satu—berisi beberapa lemon segar serta buah lain.

Karenina berdecak. "Astaga." Ia meletakan semuanya di lantai, berjongkok merapikan lagi barang-barangnya sementara sosok manusia utuh berdiri di dekat gerbang, memperhatikan gerak-gerik wanita itu—yang hanya bisa dilihatnya jika melakukan aktivitas out door, dan semuanya sirna acapkali Karenina melenyapkan diri di balik pintu rumah—tiada lagi pemandangan terekam di sepasang iris Denial.

Laki-laki ini semakin merasa pengecut, bahkan untuk sekadar menyapa atau sebatas menanyakan kabar. Sudah berhari-hari ia bertingkah layaknya penguntit andal, saat berada di kantor Denial menjadi seseorang yang gila kerja, jika jam makan siang berlangsung ia bergegas pergi hanya untuk memperhatikan Karenina di lokasi food truck.

Denial menarik napas dalam-dalam, ia merindukan wanita itu, sangat rindu sampai hampir gila, tapi sulit menjangkau karena terpaksa menjaga jarak. Pria yang masih mengenakan seragam kantornya itu memutar tubuh, meluruh terduduk di ubin yang dingin sembari bersandar pada gerbang, ia menelan ludah.

"Gue terlahir sebagai pengecut?" Entah menanyai diri sendiri atau pada angin yang berembus menerpanya, ia tersenyum pedih, serasa ngilu seperti mengalami kecelakaan hingga bagian tubuhnya terpotong, bahkan lebih perih karena rasa sakit yang tak kunjung selesai seperti penyiksaan sebelum Denial melemparkan diri ke neraka. "Waktu putus sama Benaya nggak ada rasanya, sekali Karenina jauh lebih nyekik dari apa pun. Bangsat."

Sementara Denial sibuk merutuki nasib buruknya, Karenina baru saja memasuki kamar setelah meletakan semua kantung belanja di dapur, ia memutar-mutar leher serta bahu nan terasa pegal. Duduk di tepi ranjang dan mengecek ponsel, sejak pagi itu tak lagi ia terima chat atau telepon dari Denial, seharusnya ini menjadi hal normal, tapi kekosongan memang tak membuat semua orang terbiasa.

Ia menatap jendela ketika angin membuat tirai berkibar-kibar. "Pantes dinginnya double, jendela belum ditutup." Karenina beranjak menuju jendela, saat tirai baru ia tarik separuhnya, gerak tangan wanita itu terhenti kala sepasang mata menemukan separuh punggung seseorang di dekat gerbang, tak terlihat jelas karena terhalang badan mobil di halaman.

Karenina memilih ke balkon guna memastikan penglihatannya, ia bergeser hingga sisi railing dan mendengkus melihat motor seseorang terparkir di depan gerbang, kendaraan yang ia kenali warna serta jenisnya. "Dia ngapain di sana?"

Denial masih duduk bersandar di gerbang tanpa tahu Karenina sudah menemukan keberadaannya, ia beranjak memutar tubuh, arah mata yang tak sengaja melihat ke atas membuat mereka saling menemukan. Wanita itu diam tanpa mengulas senyum, entah kalimat apa yang bisa tersirat dari tatapannya sampai ia memilih kembali masuk kamar dan menutup jendela.

Denial menyugar rambut seraya mengeluh. "Apa dia benci banget sama gue sampai senyum aja enggak bisa?"

Pria itu memakai helm, duduk di jok motor dan pergi tanpa berharap lebih dari momen yang ia jadikan hobi.

***

"Lo habis lembur?"

"Nggak." Denial melewati adiknya begitu saja di dekat anak tangga.

"Terus kenapa pulang malem?" Bocah ini seringkali tak mampu membaca situasi, ia justru mengikuti langkah kakaknya ke lantai dua.

"Bukan urusan lo." Tangan pria itu melonggarkan dasi dan melepas kancing kemeja paling atas.

"Lo masih bentrok sama Kak Nina?"

Denial menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar, saat ia memutar tubuh Elita tersentak melihat ekspresi sang kakak yang benar-benar tak bersahabat.

"Elita, sekali ini aja, gue nggak minta banyak. Jangan ikut campur masalah gue, dan nggak perlu tahu. Apa yang gue alami cukup gue yang ngadepin, mending lo belajar."

"Ya sorry, gue kan cuma cemas aja."

"Nggak perlu, selama lo masih bisa ngelihat abang lo di rumah setiap hari—itu cukup. Jadi, berhenti mikirin gue." Ia menarik kenop, masuk melewati celah pintu yang terbuka dan membantingnya tanpa peduli jika sang adik makin terkejut.

***

Maaf update gak maksimal dan dikit banget, mood naik turun kek rollercoaster.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang