Pada purnama yang menghadang
Beri tahu ia tentang luka yang meradang
Dari perempuan bernasib malang
Serta luka tikaman parang.***
Sudah pukul lima sore, tapi surya sama sekali belum tunjukan tanda-tanda kemuning yang sering ditunggu banyak orang. Katanya senja, tapi datang sejenak saja.
Cakrawala masih cerah kebiruan, seperti warna perasaan seseorang, mungkin saja jika ia sedikit mengekspresikannya kali ini, tapi katatonik adalah rupa yang tak bisa Karenina singkirkan, ia menyukainya—sama seperti saat menyukai desau angin sore yang meliukan tirai tipis jendela kamarnya ketika si pemilik tengah duduk di sofa seraya membaca sebuah novel terjemahan. Novel Where She Went karya Gayle Forman menjadi pengisi waktu yang apik kala Karenina menikmatinya dengan secangkir susu jahe yang sempat dibuatnya sendiri, lima belas menit lalu sebelum pantatnya terhempas nyaman di permukaan sofa.
Kain kasa tiada lagi melingkari keningnya saat plester luka menjadi peran pengganti, dua hari merasa terisolasi dari dunia luar saat ia terus terbaring di ranjang rumah sakit, beruntungnya pagi tadi Karenina diizinkan pulang bersama segudang nasihat dokter. Lucunya, perempuan itu enggan buka mulut pada sang ayah perihal alasan kecelakaan beberapa waktu lalu, tentang van hitam yang menguntitnya hingga ia celaka. Jadi, Rahadian tetap anggap musibah yang menghampiri putrinya adalah kecelakaan tunggal karena kecerobohan.
Biar saja berpikir demikian, toh Karenina enggan memusingkan. Ia lebih suka menghirup dalam-dalam aroma susu jahe yang hendak diteguknya meski tak sepanas tadi, uap telah menyingkir terbawa desir angin.
Tok-tok-tok!
"Masuk aja," ucap Karenina tanpa alihkan tatapannya dari alinea romansa yang ia baca.
Derit pintu terdengar hingga muncul sosok Parmini yang enggan melangkah lebih jauh dari batas ambang pintu.
"Maaf, Mbak. Ada tamu di depan," tutur Parmini.
"Siapa?" Bola matanya masih berfokus pada bait-bait kata.
"Nganu, laki-laki yang pernah ke sini waktu itu. Saya nggak tahu namanya."
Kali ini fokus bola mata Karenina berpindah pada netra milik Parmini, terkaan terlintas di kepalanya. "Ya, sebentar lagi saya keluar."
"Permisi, Mbak." Parmini tinggalkan kamar Karenina, sedangkan pemiliknya melipat ujung lembaran kertas novel sebelum menutupnya dan letakan benda tebal tersebut di permukaan sofa. Ia beranjak tinggalkan kamar, berharap yang mengisi pikirannya kali ini tiada samar.
Laki-laki dengan jaket kulit cokelatnya masih berdiri di depan ambang pintu dengan posisi membelakangi, sebuah lolipop merah tengah dinikmatinya.
Sentuhan pelan pada bahu kiri membuat Denial refleks menoleh, seulas senyum menghias wajah. "Hai, udah sembuh, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
Любовные романыNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...