DI BAWAH REDUPNYA CAHAYA.

1.1K 134 6
                                    


Kau seperti savana tak berujung, mengharap air jelanga, sedang aku hanya sebatang asa dari bagian hidupmu.

Schatje, aprilwriters.

***

Lewat tengah malam, penerangan di kamar Karenina memang redup, tapi cahaya dari lampu tidur di sisi ranjang masih cukup membuat mata Denial melihat wanita itu terbaring nyenyak di ranjang. Denial bangkit dari sofa, ia merasakan kepalanya masih begitu pening, ia beranjak menghampiri kamar mandi dan membasuh wajah di depan cermin wastafel. Mata laki-laki itu masih memerah, beruntungnya ia tak sampai muntah di kediaman Karenina.

"Gue harus bicara sama Karenina." Benar, itu tujuannya mabuk-mabuk datang ke rumah ini. Ia keluar dari kamar mandi, terus bergerak menghampiri ranjang, kesadaran Denial sudah kembali meski efek alkohol masih menyiksa kepala. Ia melepas sepatu dan naik ke ranjang, menatap perempuannya begitu tenang dalam kelopak tertutup, ia tersenyum, Karenina selalu saja cantik apa pun situasinya.

Ia membungkuk mengecup kening wanita itu, lalu beralih ke pipi dan Karenina mulai terusik karenanya, Denial berhasil membangunkan Karenina yang kini beranjak duduk. "Kamu udah bangun? Saya ambil air putih ya."

"Nggak perlu, aku mau bicara sama kamu." Denial terlihat lebih tenang, emosinya sudah benar-benar redup, ia bersila di depan wanita itu. "Aku udah ketemu Benaya, dia bicara sesuai permintaan kamu."

Karenina menunduk. "Maaf, saya nggak bisa jawab setiap pertanyaan yang dia ucapin, saya ngerasa cuma kamu yang mampu. Saya minta maaf kalau udah buat kamu nggak nyaman, maaf menyakiti kamu."

"Karenina, kamu nggak akan lepasin aku buat siapa pun kan? Jangan melakukan hal seperti itu, ya? Jangan pernah." Ia menangkup wajah Karenina, menempelkan kening mereka, napas berat Denial berbaur dengan milik Karenina, mereka bertukar udara.

"Denial, saya cuma mengatakan apa yang harus saya katakan. Saya nggak pernah berniat mendorong kamu buat pergi, segala pertanyaan Benaya nggak seharusnya dia arahkan ke saya, karena kamu sendiri yang datang ke saya."

"Aku tahu, aku sadar, aku yang paling butuh kamu. Lain kali aku harap kamu jangan begini lagi, jangan serahin aku buat siapa pun, aku mau di sini, cukup sama kamu. Nggak sulit kan?"

Sekarang Karenina menangkup wajah laki-laki itu, menjauhkan kening mereka. "Katanya, jangan mencintai seseorang yang belum selesai sama masa lalunya."

Mata Denial semakin sayu saja, kombinasi antara efek mabuk, bekas menangis, bekas tidur. Alkohol juga masih menguar lewat udara yang keluar dari bibirnya. "Masa lalu aku udah selesai sampai di sana, begitu pun kamu kan? Kamu udah nggak mencintai Royan, kamu cuma mengenang buat menghargai dia, aku nggak akan marah. Aku takut kamu pergi, Karen." Ia menjatuhkan keningnya di bahu wanita itu, lantas mendekap erat. "Aku tahu kehidupan kita nggak pernah mudah, tapi tolong percaya kalau aku bisa selalu usaha buat ada di samping kamu. Jangan tanya soal gimana perasaan aku ke kamu, aku paling sayang kamu, Karenina."

"Saya tahu."

Malam begitu sunyi dan hanya memperdengarkan lolongan binatang pun cukup jauh, bahu Denial bergetar, ia masih menumpukan keningnya di bahu Karenina. Laki-laki itu terisak sekarang, dalam cahaya remang sebuah ruangan.

"Aku mencintai kamu, Karenina. Aku mencintai kamu." Suaranya ikut bergetar, ia mengangkat wajah memperlihatkan raut melankolisnya. Mata Denial sama redupnya seperti cahaya di kamar Karenina. "Aku, mencintai, kamu." Ia mengangguk, tersenyum dan mendekat perlahan, mendapat bibir Karenina untuk kemudian ia cercap lembut.

Suara lolongan anjing tak berpengaruh apa-apa, aura ketegangan jauh lebih terasa di ruangan ini, udara dari AC sepertinya tak berfungsi lagi, kulit-kulit saling menempel di sana seperti menebal layaknya baja yang tak bisa ditembus, tapi begitu panas karena terbakar.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang