RAPUH.

10K 966 21
                                    


Ada hal yang tak perlu kubagi
Sebut saja suara hati
Jika kaubisa mendengar
Beri aku sedikit kabar.

(Schatje, aprilwriters)

***

Tubuh Karenina terhuyung bak orang mabuk begitu turun dari mobil, ia merasa bergetar dan lemas di seluruh bagian saat terus memikirkan si pedagang kaki lima tadi. Kini langkahnya bahkan gontai saat hampiri beranda rumah dengan tatapan nanar seraya sesekali menoleh ke belakang, ia terlihat seperti ketakutan, waspada. Karenina menelan saliva kuat-kuat, keringat dingin tiba-tiba menghiasi kening perempuan itu, ia bahkan sampai harus merangkul pilar tinggi yang menopang atap beranda saat tubuhnya semakin lemas saja, hampir terjatuh.

Perempuan itu masih memperhatikan sekitar seperti takut seseorang akan mengejarnya, ia tarik napas panjang ketika fragmen lama mengudara lagi bak kaset rusak, ketika seorang wanita yang melahirkannya tiba-tiba melompat dari pagar pembatas jembatan, menenggelamkan tubuhnya sendiri di depan anak semata wayang serta suami.

Lantas, bayang yang baru saja terjadi ikut berbaur, saat ia dengar teriakan banyak orang sebelum mobilnya berhenti, menatap keadaan lewat kaca spion sisi kanan dan temukan begitu banyak orang mengerumuni pedagang kaki lima yang terkapar di aspal bersimbah darah, belum lagi keadaan gerobak ringsek serta barang dagangan tercecer di mana-mana. Namun, satu hal yang masih belum Karenina percaya adalah bahwa bukan ia yang menabrak pedagang kaki lima tadi, tapi van hitam yang mengejarnya, ia melihat sendiri saat orang-orang juga mengerumuni mobil itu seraya mengetuk kaca jendela agar pemiliknya keluar. Saat itulah Karenina putuskan tancap gas bersama rasa takutnya, ada rasa bersalah yang terus menguntit seolah minta pertanggungjawaban.

Ia tarik lagi napasnya, dua hal tadi benar-benar berbaur jadi satu seakan mengingatkannya pada masa kelam, masa di mana rasa takut serta tangisan adalah hal paling dominan. Keringat semakin mengucur deras, ia lanjutkan langkah hampiri pintu utama yang terbuka lebar sebelum akhirnya ambruk begitu saja ketika tubuh bergetarnya benar-benar tak bisa bertahan lagi.

"Astaga! Mbak Karen kenapa, Mbak!" teriak Parmini yang kebetulan berada di area tamu, ia dapati tubuh putri majikannya terududuk di dekat pintu dengaan wajah yang perlihatkan ekspresi ketakutan, ia mendekat berlutut di dekat Karenina. "Mbak Karen kenapa? Sakit? Pucat gitu, ayo bibi bantu."

Karenina menggeleng, napasnya putus-putus. "Air, air." Suaranya bahkan hampir hilang, bola matanya memerah dan terasa panas.

"Iya, Mbak, iya." Parmini bergerak cepat hampiri dapur sebelum kembali membawa segelas air putih, memberikannya pada Karenina.

Perempuan itu meneguk air di gelas hingga habis, ia berikan lagi pada Parmini seraya mengatur napasnya, dada terasa sesak saja. Karenina perlahan beranjak meski kedua tangannya harus meraba-raba tembok, ia tak miliki daya lagi sekadar beranjak.

"Mbak Karenina sakit?" Parmini ikut beranjak.

"Nggak, saya nggak apa-apa." Ia tetap lanjutkan langkah meski lagi-lagi terhuyung seperti orang mabuk, ia menoleh pada Parmini yang masih mematung di dekat pintu, menatap anak majikannya dengan segudang tanda tanya.

Karenina menapaki anak tangga meski begitu pelan, tangannya terus mencengkram railing takut-takut ia bisa ambruk lagi seperti tadi, kini pintu kamar terbuka, membuatnya lenyap dari pandangan Parmini usai Karenina menutup pintu kamar, ia rebahkan tubuh di ranjang tanpa melepas sepatunya, kini bahkan meringkuk seraya memeluk kedua lutut sebelum akhirnya air mata ikut menetes juga meski sudah dibendung mati-matian sejak tadi.

"Mama ...." Suara parau itu kembali mengudara, mengoyak luka lama yang pernah begitu hebatnya mendera. Sepoi angin dari jendela yang terbuka tak bisa merayu Karenina kali ini, ia semakin luruhkan air mata dalam rasa takut dan sakitnya sendirian.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang