JATUH TANPA KENAPA.

17.9K 1.5K 31
                                    


Setiap orang miliki keinginan berhalusinasi, mengimajinasikan sesuatu yang dianggapnya mustahil alias tidak mungkin. Setiap orang juga berhak berharap kalau imajinasinya lekas menjadi nyata di depan mata, bukan sekadar omong kosong yang dielu-elukan tanpa fakta.

Memang agak lucu ketika halusinasi terus mengitari kepala seolah kehidupannya adalah dunia fantasi saat seseorang mengharapkan sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.

Salah?

Tentu tidak, terkadang berpikir secara tidak logis cukup menghibur diri sendiri, berkhayal terbawa arus mimpi.

Denial tersesat dengan halusinasi yang kini terus berputar di kepalanya, perempuan itu sebenarnya tengah mengunyah mie ayam pedas milik Denial, dan bukan tertawa lebar di depannya.

Fokus Denial tersesat dalam bola mata Karenina, terperangkap karena terlalu lekat mengimajinasikan yang entah kapan terjadi.

Rintik hujan masih deras, membasahi tiap-tiap daun hingga menetes ke tanah dan timbulkan aroma basah yang biasa mereka sebut petrichor. Kubangan lumpur mulai tercipta, jalanan basah hingga keluhan orang-orang yang terusik kala Minggu mereka menjadi kelabu. Terkadang, rasa tenang akan turunnya hujan juga beriringan dengan kepedihan yang lain. Tergantung bagaimana situasi yang tengah dirasakan tiap-tiap ciptaan-Nya.

Meninggalkan riuh rintik hujan yang masih terdengar. Denial sendiri seperti kesurupan, tak sudi beralih menepikan terpenjaranya bola mata yang sibuk berdelusi dengan eboni Karenina. Entah dimulai pada menit ke-berapa Denial mulai gila, tiba-tiba saja ia mengharapkan yang tidak pernah dilihatnya dari Karenina.

Ekspresi gadis itu sama sekali tak tampilkan kalau ia rasakan pedas berlebih, meski gelas es teh kosong miliknya tak bisa berbohong, harusnya Karenina gelagapan karena rasa pedas yang menggelitik kerongkongannya, tapi perempuan itu benar-benar tenang bersamaan peluh yang terus menetes sekalipun hawa dingin menyergap.

Senyum miring Denial terbit. "Belum nyerah?" Bibir itu akhirnya berucap setelah sepuluh menit pemiliknya sibuk ber-imajinasi.

Kening Karenina mengerut. "Nyerah dalam hal apa?"

Denial menggeleng dan tertawa kecil. "Itu pasti pedas banget, kan? Lebih pedas dari mie ayam lo ini." Telunjuk kanan Denial menukik pada mangkuk mie ayam yang ditukar Karenina. "Punya lo nggak sepedas punya gue, Karenina Hasan."

Perempuan itu diam, ia beranjak hampiri showcase yang berada di sebelah kiri gerobak tempat diraciknya mie ayam, terlihat Mang Karim tengah mempersiapkan dua mangkuk mie ayam untuk pelanggan yang baru datang. Hujan bukanlah halangan untuk berkuliner ria.

Tangan Karenina bergerak membuka pintu showcase,  ia meraih sebuah teh botol sebelum membuka penutup dan meneguk isinya, kerongkongan itu kini tak lagi sepanas tadi saat air dingin meluruh seperti air terjun.

"Mbak Karenina," sapa Mang Karim yang sibuk memindahkan mie basah ke dalam mangkuk.

Perempuan itu menoleh. "Iya."

"Baru kali ini mamang lihat Mbak Karenina datang sama laki-laki, itu pacarnya, ya?" Mang Karim menoleh pada Denial pun dengan Karenina, sedangkan manusia yang ditatap tampak kebingungan saat dua orang sekaligus melihatnya seperti itu.

Karenina menoleh lagi pada Mang Karim, ia menggeleng seraya tersenyum. "Bukan, dia cuma rekan kantor saya. Nggak lebih dari itu."

Denial mengerutkan kening kala dapati ekspresi Karenina serta interaksi akrabnya dengan penjual mie ayam.

Sama tukang mie ayam aja senyum-senyum, gue nggak lebih apa-apa dari dia kali, ya.

"Oh gitu, mamang kira pacar."

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang