SEBUAH MIMPI.

12.2K 940 133
                                    


Bumi memang mengerikan
Tempat banyak pengkhianat berkeliaran
Bumi juga asing
Entah di mana lagi matahari menyingsing.

(Schatje, Aprilwriters)

***

Wajah-wajah melankolis berjejer di depan ruang ICU, satu di antaranya menumpahkan air hujan tanpa henti, mendung menyelimuti benak mereka, suasana hati yang kacau dan berkabut. Ada Zian, Anne dan Elita yang duduk pada kursi panjang di depan ICU, sedangkan Rahadian berdiri di depan pintu seraya menunduk terpejam, semua orang mencoba bersikap tenang, tapi yakinlah hati mereka remuk redam tanggapi anak-anak mereka berada di dalam sana dengan banyak luka serta darah yang mengalir. Setidaknya ada lima korban yang dilarikan ke rumah sakit malam ini, dua di antaranya meninggal di tempat setelah van sisi kanan ringsek oleh tekanan yang cukup kuat, dua dari tiga penjahat dalam van itulah yang tewas di tempat, sisanya masuk ruang ICU juga seperti Karenina dan Denial. Namun, jika ditanya siapa yang paling parah antara ketiganya sekarang, tentu saja Karenina.

Dua orang polisi melangkah di koridor, mereka tetap berwibawa meski begitu tergesa, tapi bukan hal aneh jika polisi sampai ke rumah sakit—mengingat siapa pun bisa datang oleh sebuah sebab, bisa saja mereka tengah mengurus sebuah kasus perihal pasien yang alami kecelakaan, meminta keterangan dari saksi yang mungkin sedang sakit atau karena sebab lainnya. Kali ini dua polisi itu menghampiri ruang ICU, mereka bernapas lega bisa temukan keluarga dari korban yang baru saja alami kecelakaan sekitar setengah jam lalu di area lampu merah.

"Selamat malam," sapa polisi berkumis tipis menatap anggota keluarga Denial serta Rahadian yang kini menoleh padanya, "saya Erik, dan ini teman saya, Fauzan." Polisi bernama Erik itu menepuk bahu temannya sebelum berjabat tangan dengan tiga sosok keluarga Denial serta Rahadian.

"Ada apa, ya, Pak?" Kali ini Zian yang bertanya, ia berdiri di dekat Rahadian.

"Begini, anggota kepolisian sudah melakukan olah TKP, ada beberapa saksi menuturkan kalau motor yang ditumpangi saudara Denial serta Karenina mengebut di jalan raya dan menerobos begitu saja lampu merah, tapi saksi mengatakan jika sebuah van hitam seperti mengejar mereka sebelum kecelakaan terjadi," jelas Erik.

"Van hitam?" Rahadian mengernyit.

"Ini, saya tadi ambil gambarnya, Pak." Fauzan mengeluarkan ponsel dari saku celana, ia memperlihatkan foto van hitam yang sudah ringsek di bagian kanannya. "Van hitam ini juga ditubruk oleh kendaraan lain, tapi kami masih bisa minta keterangan langsung pada penumpang van hitam yang selamat."

"Jadi, van hitam ini ada hubungannya dengan kecelakaan anak saya?" tanya Zian.

"Iya, Pak. Saksi menyebutkan kalau mereka sebelumnya terlihat saling mengejar sampai motor menyalip kendaraan lain berkali-kali."

"Oke, Pak. Lakukan prosedur yang sesuai, usut semuanya sampai tuntas," tutur Zian memberi kepercayaan.

"Kalau begitu terima kasih, kami harus berbicara dengan petugas rumah sakit lebih dulu, permisi." Fauzan dan Erik melenggang tinggalkan mereka semua, kini tanda tanya bermunculan usai mendengar penjelasan dari dua polisi tadi. Rahadian sendiri putuskan menyingkir, ia keluarkan ponsel dari saku celana untuk menghubungi seseorang.

"Kalau emang kecelakaan itu direncana, siapa sih yang tega jahatin Kak Nina sama abang, Ma. Mereka salah apa?" Elita sandarkan kepalanya pada bahu Anne, ia terus mengusapi punggung sang ibu, sejak mendengar kabar Denial alami kecelakaan, wanita itu terus saja menangis meski telah tiba di rumah sakit, wajahnya benar-benar sembap.

"Kita tunggu kabar selanjutnya dari polisi," sahut Zian, baru saja ia duduk—sudah harus berdiri lagi saat dokter keluar dari ruang ICU, pria berkacamata itu menatap keluarga Zian satu per satu, lalu beralih pada Rahadian yang mendekat.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang