Aku tersara-bara
Terseok-seok hingga dipenuhi luka
Sedang engkau tersenyum di sana
Tertawa seolah menikmati duka.(PHOSPHENES, aprilwriters)
***
"Namanya Benaya, mantan pacar Rega sekaligus perempuan yang mati-matian Denial kejar waktu SMA. Jadi, pas Rega putusin Benaya gitu aja—malah Denial yang ngamuk, dia enggak terima. Desas-desus mereka kuliah di universitas sama waktu di Korea, nggak mungkin dong nggak ada kisah asmara. Terus, waktu itu Nathan cerita kalau Rega nebak Denial mau balas dendam ke dia."
Terkadang setiap orang memerlukan waktu agar bisa mencerna sebuah kejadian pun perkataan yang melintas dalam hidup masing-masing, sebab menerka-nerka juga bukanlah jawaban pasti.
Mungkin saja kali ini Karenina berhasil lolos dari kejatuhan yang lebih dalam, tak lebih dari kejatuhan sebelumnya meski kadar rasa sakit tak bisa dibedakan. Sakit hati pasti ada meski ia tak pernah mengaku perihal rasa, perempuan mana yang takkan melambung jika terus ditinggikan dengan jutaan retorika rasa dari lawan jenisnya, apalagi sebuah tawaran tentang uluran tangan—yang mana pemiliknya mengaku akan mengeluarkan dari kubangan luka, toh kenyataannya bisa Karenina hadapi sekarang. Semua lebih jelas pada ungkai omong kosong, menggelikan.
Sekali lagi, guyuran hujan masih jatuh di wajah sekadar mengungkapkan isi hati pemiliknya. Ketika Karenina berpikir bilur lama hanya meninggalkan bekas, ternyata bilur baru menggores tanpa tuntas.
"Ke Apartemen Boulevard ya, Pak." Akhirnya suara serak Karenina memberi kepastian yang ditunggu supir taksi setelah lima belas menitan hanya diam tanpa berani mengusik tangis menyayat hati dari penumpangnya.
"Iya, Mbak." Lirikan matanya mengarah pada kaca di dekat kepala, ia menggeleng tak mengerti.
***
Ketukan di balik salah satu pintu unit apartemen milik Jesslyn di lantai 25 masih berlangsung, Karenina cukup sabar menunggu hingga pemiliknya keluar seraya menguap lebar.
"Karenina, elo—" Jesslyn baru mendelik usai melihat kondisi memperihatinkan sahabat lamanya, mulai dari wajah yang basah hingga plester di keningnya. "Elo kenapa!" Ia tarik Karenina dalam dekapan saat air mata lagi-lagi meluruh tanpa jemu. "Kita masuk dulu."
Kini keduanya sama-sama menghempas pantat di sofa putih ruang tamu apartemen Jesslyn, gadis itu menarik beberapa lembar tisu yang terletak di permukaan meja. Ia usapi wajah basah Karenina, kenapa pertemuan kedua mereka harus alami kesan menyedihkan.
"Berhenti dulu nangisnya, atau mau kelarin juga nggak apa-apa. Gue nggak akan maksa elo buat cerita, intinya lo ke sini pasti mau tenangin diri." Ia arahkan kepala Karenina agar bersandar di bahu kiri, beruntung ketika seseorang masih sudi membagi bahu meski banyak orang di luar sana yang justru sibuk menambah beban tanpa ampun. "Gue bikin chammomile tea, ya. Biar elo rileks dikit." Anggukan Karenina adalah jawaban, kepala perempuan itu pun terangkat biarkan Jesslyn melenggang hampiri dapurnya.
Tisu? Berapa lembar yang harus Karenina habiskan untuk air matanya kali ini, apa tak ada kata bosan?
Lucunya adalah kenapa Karenina harus percaya pada laki-laki yang baru datang dalam hidupnya selama beberapa hari, ia harus belajar bagaimana mengamati situasi, belajar menghadapi sebuah liku yang harus ia lalui di kemudian hari.
Beberapa lembar tisu kembali Karenina tarik, ia memaksa senyum saat Jesslyn datang seraya meletakan segelas chammomile tea di meja, gadis yang hanya kenakan kaus oversize abu-abu serta hot pants itu kini duduk di sofa yang lebih kecil, bukan di sebelah Karenina lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
RomanceNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...