PANTANG?

1.5K 129 17
                                        

Sudah tahu diri ini lemah, seperti halnya sebatang bunga. Tinggalkan saja ia di tengah terik, biar mati perlahan-lahan.

Schatje, aprilwriters.

***

"Hai, saya datang lagi." Karenina tersenyum, ia berjongkok di sisi pusara bertuliskan Royan Juliaska, wanita itu juga meletakan buket bunga yang ia bawa pada permukaan makam. "Saya janji nggak akan nangis di sini, tadi saya udah ke makam mama, dan saya juga nggak nangis kok. Saya belajar kuat, Royan. Karena kehidupan memang seperti ini, saya nggak punya pilihan selain menjalani. Benar nggak?" Karenina tersenyum lagi, pagi ini aura yang terpancar dari wajahnya memang berbeda, ia tak perlu mengoleskan blush on agar terlihat merona, tak perlu mengusap lipstik agar bibirnya merah muda. Tak ada sentuhan make up untuk mendatangi pemakaman, cukup tersenyum dan dunia akan melihat jika dirimu baik-baik saja, entah palsu atau nyata.

"Saya juga bawa kado yang pernah kamu kasih ke saya." Karenina merogoh paper bag yang ia bawa, sebuah music box berbentuk komedi putar merah muda ia pamerkan di depan nisan. "Ini kan, saya nggak akan pernah hilangin ini. Satu-satunya dari kamu. Kita dengar sama-sama ya." Karenina menghidupkan suara membiuskan dari melodi music box yang ia dengar, lebih baik berbicara dengan angin, tak ada yang menyela atau memprotes, semua akan setuju-setuju saja.

Karenina bergeming seraya menempelkan music box di sisi kepala, ia tersenyum menyentuh nisan Royan. Ada beberapa manusia di tempat ini, tapi posisi mereka saling berjauhan di makam yang berbeda, beberapa mendoakan, mengadu, menangis dan berusaha bercerita akrab seperti Karenina. Ia lelah menangis, seharusnya kemarin sudah habis saat memutuskan mereka harus berakhir.

"Denial, saya bukannya nggak bisa nunggu, cuma saya muak sama drama kisah cinta saya, berkali-kali seperti ini. Rega, kamu tahu kan? Mungkin sekarang giliran kamu, kita selesai."

"Selesai?" Sesuatu tak kasat mata menyentak dada, ia menelan ludah, tatapan memelasnya berubah nanar. Wanita itu memutar tubuh, Denial lantas berlutut di belakangnya. "Selesai? Kenapa harus selesai?"

"Karena harus selesai." Karenina tetap memunggunginya meski sekarang Denial memeluk sepasang kaki wanita itu dari belakang, seperti anak kecil yang merengek. "Ayo sama-sama belajar lebih dewasa, Denial."

"Kamu udah janji nggak akan lepasin aku, kan. Kenapa sekarang kamu ngelakuin ini, Karenina. Kamu ingkar janji."

"Saya tahu saya ingkar, saya sadar." Ia tetap menatap lurus ke depan. "Seperti yang saya bilang tadi, mari kita belajar mendewasakan diri lagi, kalau besok ada persimpangan yang lebih baik buat bertemu. Mari kita bertemu, saya nggak akan ke mana-mana."

Karenina sudah memikirkannya semalam meski ia sendiri tahu semua itu menyiksa, menyakiti diri sendiri, tapi ini harus. Terlalu banyak konflik datang bertubi-tubi sementara ia masih ingin bertahan hidup lebih lama, meski ada Royan di surga, Karenina belum siap pergi dari bumi, segalanya belum terselesaikan, ia memiliki banyak tanggung jawab di sini.

Karenina sadar ia egois saat itu, ia ingin tetap sehat dan berpikir positif tanpa diusik oleh beragam hal menyedihkan lagi, Karenina lelah menyambut stres, ia tak ingin mengalami depresi. Sebab bersama Denial masih bisa membuatnya menerima keburukan itu, lebih baik ia melepaskannya dulu, biar Karenina saja yang berpikir positif untuk jalan di depannya, biar saja jika Denial menyelesaikan semua sendiri. Bukan berarti Karenina tak bisa berjuang, ia hanya lelah dan butuh istirahat.

Ingat saja sejak kapan masalah berhenti mendatangi Karenina? Bukankah ia selalu merasakannya seperti meminum obat? Ia muak, sangat muak dan terus muntah. Karenina ingin menjauhi masalah, saat ia sadar kemunculan Benaya memang membawa masalah, lebih baik ia membiarkan Denial-nya lepas saja, incaran Benaya adalah Denial.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang