HENING YANG BERKABUT.

10.7K 1K 38
                                    


Hening yang berkabut
Saat engkau tak lagi memicu kemelut.
Hening yang berkabut
Dari pria yang masih saja pengecut.

(Schatje, aprilwriters)

***

"Karenina pamit pulang dulu, Om, Tante, Elita." Perempuan itu tersenyum menatap mereka semua, sekarang sudah pukul sembilan dan jam besuk benar-benar dibatasi. Mereka sudah bercerita panjang lebar, saling bernostalgia dan melempar tawa hingga ruangan itu terkesan hidup dalam sekejap, membuat tembok-tembok yang membatasi ruangan satu serta lainnya lebih berwarna.

Tidak ada Denial di sana, ia tak lagi kembali usai keluar terakhir kali, tapi anggota keluarga lain seolah tak merasa kehilangan atas ketiadaan laki-laki itu setelah kehadiran Karenina membawa suasana baru.

"Hati-hati di jalan, Kak," ucap Elita, ia merangkul Karenina seraya sandarkan kepala di dada perempuan itu, bukan hal aneh saat Elita melakukan hal serupa tiap kali bertemu Karenina, ia selalu anggap Karenina adalah kakak sendiri. Jika saja ia boleh menukar salah satu kakak laki-lakinya, mungkin Denial yang akan diajukan, sebab kalau Elang sudah menikah.

"Iya, kamu juga. Belajar yang rajin, udah kelas dua belas, kan. Biar bisa lolos PTN." Karenina mengusapi punggung Elita. "Jangan pacaran terus."

"Ih, aku enggak pacaran kok, dekat sama cowok aja enggak. Mereka takut, kan aku jago karate."

"Baguslah, bisa jaga diri. Kakak pamit pulang, ya."

Elita terpaksa melepas pelukannya, ada ekspresi sendu yang wakili rasa tak rela saat harus berpisah dengan Karenina.

"Hati-hati di jalan, ya, Karen," ucap Anne yang masih duduk di samping Zian, pria di sebelahnya ikut menggangguk seraya tersenyum tatap Karenina.

"Bye, semua." Karenina melangkah pergi seraya melambai tangan sebelum berlalu di balik pintu, menghilang usai kaki-kakinya melangkah lewati lorong mencapai lift yang kini membawanya ke lantai dasar.

Seseorang juga baru keluar dari mobil sang ayah usai berhenti di area parkir rumah sakit, ia masih berdiri di dekat pintu saat bola matanya tak sengaja menangkap sosok Karenina yang kini melangkah keluar dari lobi menuju beranda, perempuan itu tampak menunduk saat membuka aplikasi taksi online pada ponsel meski setelahnya menengadah tatap angkasa yang tampilkan nuansa berbeda, bukan perihal kehadiran bintang menemani bulan, tapi Februari masih menjadi bulan turunnya hujan.

Ada gelagar petir di atas, tapi hanya tampak kilatnya saja, mungkin hujan tengah berlangsung di tempat lain. Perempuan itu melangkah cepat hampiri sisi jalan seraya menunggu taksi online yang sebentar lagi sampai, dan laki-laki itu masih setia memperhatikan tingkah laku Karenina, masih seperti dulu; kalem dan tak terusik.

Saat taksi yang ditunggu Karenina datang, perempuan itu masuk sebelum taksi akhirnya berlalu. Kini Denial masuk lagi ke mobil ayahnya, ia melaju tinggalkan area parkir dengan tujuan sederhana; mengikuti taksi yang membawa Karenina meski Denial sendiri tak mengerti kenapa ia berlaku sekonyol itu, tentu saja Karenina pasti pulang ke rumah, tapi rasa ingin menjaga datang tanpa diundang, padahal dia pecundang.

Gelegar petir kini perdengarkan suaranya, memberi tanda pada semua orang kalau hujan segera turun. Denial luruhkan kaca mobil sisi kanan, menarik sebatang rokok dari bungkusnya yang tergeletak di permukaan dashboard, kini asap mengepul melewati jendela, turut serta membaur bersama hawa dingin yang menyeruak masuk tanpa permisi.

Rintik gerimis perlahan turun, tapi lalu-lalang kendaraan di jalan sama sekali belum berkurang, setidaknya aktivitas pejalan kaki terlihat sepi. Denial yang masih menyesap batang rokoknya tersenyum miring saat taksi yang membawa Karenina justru berhenti di depan sebuah warung mie ayam.

Schatje (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang