Pada pekat yang mengias angkasa
Kugantung harap baru nan samar di sana
Kulangitkan doa yang tak perlu didengar siapa-siapa
Kuharap esok, lusa—Engkau lekas mengabulknnya.(Schatje, aprilwriters)
***
Cermin oval memperlihatkan wujud seseorang yang bergeming perhatikan bola matanya sendiri, tak ada yang salah, hanya saja—apa mungkin menyimpan rahasia tanpa diketahui pemiliknya? Ia menelan ludah, sebelum menunduk seraya putar kran air pada wastafel, kini air telah menyentuh wajah lelah itu, bukan sekadar lelah melakoni perjalanannya hari ini, tapi juga lelah mencari yang masih bersembunyi. Andai, Denial tahu ia kenapa—mungkin semua bisa diperjelas.
Denial menyugar rambut yang terasa begitu kering menggunakan air hingga terlihat basah, ia kembali perhatikan cermin seraya melepas satu per satu kancing kemeja—meloloskannya hingga dada bidang laki-laki itu terlihat sempurna. Sedikit konyol saat ia masih menatap cermin bersama tangan kanan terangkat menyentuh dada sisi kiri sekadar merasakan detak jantungnya.
Denial menghela napas lelah, tetesan air dari rambut terlihat menyentuh pangkal hidungnya. Kini tangan itu berpindah posisi pada ceruk leher, lalu usapi tengkuk seraya mengernyit.
"Apa yang salah sama gue, badan gue," gumam Denial tampak frustrasi, saat dering ponsel terdengar—ia merogoh benda pipihnya dari saku celana, tertera nama Benaya di sana. "Kenapa?" Ponsel ditempelkan pada telinga kiri.
"Bisa main ke rumah nggak, kan tadi udah pergi tinggalin di acara reuni." Suara Benaya terdengar manja.
Denial meraup wajah. "Maaf, tapi nggak bisa. Rasanya lagi capek banget habis aktivitas tadi."
"Sama Bang Elang, ya?"
Bukan. "Iya, ini baru mau mandi. Maaf ya."
"Ya udah nggak apa-apa, yang penting besok ketemu." Panggilan mereka berhenti usai Benaya mengakhiri.
Denial mendengkus, suara kran air yang menyala tak bisa singkirkan suara-suara samar dari indra pendengaran, sebuah suara khas dari seorang perempuan yang telah Denial antar pulang setengah jam lalu, seperti janjinya meski semakin tidak ada yang baik-baik saja antara mereka.
Meski ia sudah begitu merendahkan diri dengan meminta maaf, tetap saja tak mampu meruntuhkan benteng kokoh yang dibangun Karenina. Maaf, terkadang seseorang yang diam jika sudah menyimpan dendam justru lebih mengerikan, meski Karenina bukan dendam, ia hanya butuh menempatkan waktu sebagai perputaran masa agar luka baru berbaur dengan luka lama, setelahnya ia hanya berharap selalu baik-baik saja.
Sekarang Denial mengerti, diamnya Karenina bukan diam yang bisa dimanfaatkan, tapi diam yang justru menikam dengan sebilah pedang. Sekalipun perempuan itu sudi buka suara, baret luka yang akan diterima orang lain meski sebatas tutur kata. Jika orang lain bisa menyakiti Karenina menggunakan fisik mereka, maka Karenina akan membalasnya hanya dengan beberapa patah kata, menohok langsung pada ulu hati hingga si korban rasakan sesak berkepanjangan.
Mungkin, Denial tengah merasakannya kali ini. Ia hanya tak mengerti dengan kondisi sendiri, setiap perkataan Karenina perihal Benaya di pantai tadi—baru bisa dipikirkan kali ini, jauh dari Karenina baru membuatnya sadari hal lain—seseorang yang harusnya selalu ia prioritaskan setiap saat, tapi berubah dalam sekejap hanya karena pemilik wajah dingin yang semakin tak bisa dijangkau olehnya.
Harusnya tak perlu dijangkau, bukankah Benaya harusnya sudah cukup, anggap saja Denial cinta setengah mati, mencintai penuh juang hingga mereka bisa bersama sesuai angannya. Harusnya Karenina benar-benar dijauhkan darinya agar semua hal yang tak perlu takkan terjadi, pikiran gilanya muncul saat melihat Karenina, tapi kewarasannya datang saat perempuan itu tak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Schatje (completed)
RomansaNew adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan dengan Denial Nuraga di sebuah klub malam ketika patah hati menyerang perempuan itu lagi-justru menamb...